31.2 C
Bojonegoro
Wednesday, June 7, 2023

Potret Ayah

- Advertisement -

KAMAR berukuran 4 meter persegi menyimpan seribu keluh. Ruang berdinding tembok ini menyembunyikan gejolak jiwa berontak dari wanita yang kini dikaruniai empat anak. Desah rintih kecewa terpendam di kamar. Suara isak tangis tak akan terdengar oleh siapa pun yang berada di luarnya. Tidak heran bila tiba-tiba penghuni kamar keluar dengan mata bengkak serta bekas air mata di pipi telah mengering.

Widia penghuni kamar ini. Dia sering meluapkan emosinya di dalam kamar. Tak jarang dia menangis sejadi-jadinya untuk meledakkan beban hidup bertahun-tahun bersemayam di dalam jiwanya. Menangis histeris seperti orang kerasukan makhluk halus. Memecahkan dan merusak barang apa pun bisa dijangkau tangannya.

Di dinding kamar kedap suara tegantung potret laki-laki paro baya. Potret tersebut seperti punya ruh. Memiliki kekuatan. Potret bergambar sosok laki-laki berwajah tampan dan berambut ikal ini yang sering mengaduk-aduk kejiwaan Widia. Tanpa sebab jelas, tiba-tiba Widia tertawa bangga seakan termotivasi potret itu. Widia terkadang tiba-tiba marah dan menangis sejadi-jadinya hingga membuang serta merusak barang di dekatnya juga karena potret itu.

Suami Widia hanya diam. Dia tidak berani menahan ketika istrinya sedang mengamuk seperti itu. Yang penting dilakukannya adalah menjauhkan anak-anak dari kamar. Sang suami paham dengan beban kenangan bersemayam dalam jiwa istrinya. Karena itu, sang suami tidak pernah marah apabila mendapati barang-barang di kamarnya hancur berantakan di kamar.

’’Tenangkan batinmu. Terimalah semua kejadian menimpa dirimu dengan ikhlas. Apalagi hal ini sudah terjadi puluhan tahun silam. Kendalikan emosimu. Ingat masa depan anak-anakmu sangat membutuhkan dirimu,” kata suaminya pada suatu hari.

- Advertisement -

’’Aku iri dengan mereka semenjak kecil mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Mereka memiliki banyak kenangan indah bersama ayahnya. Sedangkan aku?” kata Widia terputus.

’’Sabar. Semua orang memiliki takdir masing-masing. Memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Tak ada gunanya kecewa dengan masa lalu. Masa-masa suram yang pernah kamu alami, jadikanlah sebagai motivasimu untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Bukankah itu sering kau katakan padaku dan pada anak-anakmu?” nasihat suaminya.

Widia diam. Dia duduk di kasur sambil memandang pelan potret laki-laki yang tergantung di dinding. Air mata sayu Widia berkaca-kaca. Tak lama kemudian air mata bening menetes dari kelopaknya. Sang suami mengusap air mata Widia dengan penuh kasih sayang. Widia menghela napas panjang lalu melepas pelan-pelan. Dia mencoba meredakan emosi yang sempat menguasinya beberapa saat.

’’Di mana anak-anak?” tanya Widia.

’’Sengaja mereka kujauhkan darimu agar mereka tidak tahu kebiasaanmu ini,” jelasnya.

Ibu empat anak ini memang tidak seberuntung anak-anak sebayanya ketika masih kecil. Dia tidak tahu wajah ayah kandung telah meninggalkan ibu dan dirinya. Menurut cerita ibunya, ayah Widia telah pergi dan tidak pernah pulang sejak Widia berumur empat bulan. Konon, ayahnya dulu terpincut pada seorang wanita kini telah menjadi istri sahnya.

Kehidupan ayah Widia dan istri barunya tak mulus sebagaimana kata-kata pernah terucap saat masih pacaran. Kata-kata indah dan nikmat, ibarat tentang makanan, hanyalah fatamorgana. Hanya angan-angan tak pernah terbukti. Kehidupan ayah Widia hancur dengan ekonomi yang morat-marit. Terlebih ketika ayah Widia divonis menderita diabetes. Tatanan keluarganya semakin kacau. Dia sering dimaki-maki oleh istrinya dan dikata-katai lelaki tak berguna.

Mendengar kabar itu, sebagai seorang anak Widia sangat prihatin. Dia sangat kasihan pada sang ayah meskipun ia telah menelantarkan ibu dan dirinya. Widia menangis menatap potret ayahnya. Dia ingin menjemput dan mengajaknya hidup bersama-sama  lagi.

”Jangan, Nak! Jangan kau ajak ayahmu pulang. Biarkan dia menjalani pilihan hidupnya,” cegah ibu Widia.

’’Ibu masih ingat waktu itu. Ayah ingin rujuk dan hidup bersama ibu,” kata Widia.

’’Selama dia masih hidup bersama wanita itu, aku tidak akan mau menerimanya lagi. Aku tidak mau diduakan dengannya,” tegas ibu Widia.

Widia sangat memahami reaksi ibunya. Sosok ibu telah mengasuh Widia seorang diri sejak kecil dikecewakan oleh suami semestinya melindungi dan menafkahinya. Apalagi saat itu dia ditinggal pergi begitu saja saat Widia berusia empat bulan. Ibu Widia terpaksa memeras keringat, banting tulang, memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.

Ibu Widia wanita sangat kuat. Dia pekerja keras. Pagi-pagi berangkat ke pasar berjualan sayur. Pulang siang hari sambil menggendong Widia kala itu masih kecil. Sesampai di rumah dia harus memasak nasi memenuhi kebutuhan gizi diri dan anaknya.  Dia tidak ingin anaknya terkena stunting atau gizi buruk sehingga pertumbuhannya tidak normal.

Widia tumbuh remaja. Dia menjadi gadis sangat pintar. Beberapa kali dia mendapatkan penghargaan dari sekolah karena prestasinya. Sebab prestasi Widia inilah banyak pihak berempati dan memberi beasiswa sekolah sampai lulus kuliah.

”Pak, besok pagi kita menjenguk ayah bersama anak-anak,” ajak Widia.

”Yang benar,” goda suaminya.

”Benar. Saya ingin bertemu ayah. Kangen. Ayah juga biar tahu dan kenal cucu-cucunya,” tegas Widia.

”Baiklah. Tapi, kalau bertemu ayah, jangan nangis, ya!”

”Kamu ini,” pungkasnya sambil mencubit pinggang suaminya.

Ayah Widia meski telah meninggalkannya bertahun-tahun tetaplah seorang ayah baginya. Dia sosok ayah yang menyebabkan Widia lahir ke dunia. Sosok ayah kandung yang tetap harus dihargai dan dihormati. Widia tidak ingin disebut sebagai anak durhaka. Dia tidak ingin mengecewakan ayah meski telah menelantarkannya. Widia tetap ingin menyambung hubungan darah dan wali dengannya.

Siang hari Widia, suami, dan anak-anak telah sampai di rumah sederhana. Rumah itu dihuni oleh ayah dan ibu tiri. Widia mengetuk-ngetuk daun pintu rumah terbuat dari bahan kayu jati sambil memanggil-manggil penghuninya. Namun, sampai ketukan ke sekian kalinya, belum ada tanda-tanda orang akan membuka pintu dari dalam.

Di sekitar rumah ayahnya sepi. Tidak ada orang lewat untuk bisa ditanyai. Jam-jam siang memang warga di kampung ayah Widia banyak yang bekerja. Mereka menambang batu kapur di pegunungan tidak jauh dari kampung tersebut. Termasuh ayah Widia dan istrinya juga sebagai penambang batu kapur sebagai mata pencaharian.

Panas matahari semakin menyengat. Mereka berlindung di bawah teras rumah agak reot. Anak-anak melepas kancing baju karena berudara gerah. Sedangkan si kecil tertidur pulas di gendongan Widia.  ”Bagaimana? Kita tunggu atau pulang?” tanya suami Widia.

”Sebentar lagi, Mas. Biasanya pukul dua belas ayah dan istrinya pulang,” jawab Widia.

Baru selesai menjawab pertanyaan suaminya, dari kejauhan Widia melihat seorang lelaki berjalan pincang dengan menggunakan tongkat ditemani wanita paro baya.

”Itu mereka datang,” kata Widia sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah dua orang yang berjalan mendekat ke tempatnya berteduh.

”Wid, sudah lama?” tanya lelaki pincang tak lain adalah ayah Widia.

“Lumayan, Yah.”

“Ayo, masuk,” ajak ayahnya.

Widia, suami, dan anak-anaknya masuk rumah. Mereka duduk sambil memandangi istri ayahnya yang sejak tadi membisu. Wajah perempuan itu cemberut. Keningnya berkerut seperti goresan ombak di hamparan pasir pantai Tuban.

”Sehat, Bu?” tanya Widia.

Istri ayahnya diam. Dia tidak menjawab pertanyaan Widia dengan sepatah kata pun dari mulutnya. Hati Widia bergemuruh. Emosinya meledak-ledak. Ia ingin mendamprat istri ayahnya.

’’Sabar!” bisik suami Widia.

’’Huh, dasar perebut suami orang! Andai tidak karena ayah, aku tak sudi datang ke sini,” gerutu Widia.

’’Ingat kata-kataku tadi. Jangan terbawa emosi.”

’’Halah!” sahut Widia dengan wajah merah padam.

’’Wid, kaki ayah semakin parah,” cerita ayah Widia memulai pembicaraan.

’’Lantas menurut dokter bagaimana?”

’’Harus diamputasi.”

”Sudah punya biaya?”

”Baru separo.”

”Aku ada tabungan. Mungkin bisa menjadi tambahan biaya operasi,” kata Widia menawari ayahnya.

”Tidak butuh bantuanmu. Biaya sudah kusiapkan semua. Ayahmu saja yang ruwet. Andai dulu mau diamputasi, sekarang pasti sudah beres,” sahut istri ayahnya dengan judes.

Widia seketika diam. Dadanya berdegub kencang menahan amarah. Dia ingin memuntahkan amarahnya, tetapi suaminya menahan. ”Ayo, kita pulang!” ajak Widia tiba-tiba sambil menggiring anak-anaknya ke mobil.

Suami Widia menggeleng-gelengkan kepala. Dia pasrah dan mengikuti keputusan istrinya mengajak pulang.  Begitulah Widia yang tak pernah bisa akur dengan istri ayahnya. Istri ayahnya judes dan sombong. Widia yang kini hidupnya di zona nyaman bersama keluarga, tetap ingin berbakti pada ayahnya dengan membantu biaya amputasi. Namun, apa boleh buat. Istri ayahnya menolak niat baik Widia dan membiarkan suaminya menderita dengan kondisi kaki semakin mengenaskan.

Widia bingung. Dia serba dilema. Ingin berbakti, tapi terbentur istri ayahnya. Akan tidak peduli, takut dianggap anak durhaka. Widia berusaha menjadi anak berbakti. Bila dalam usahanya itu mengalami hambatan, pasrahkan semua pada Tuhan tahu hal-ihwal hamba-Nya. Widia selalu berdoa buat ayahnya agar segera diberi kesembuhan oleh Tuhan dan hidupnya semakin tenteram.

Potret ayahnya dibiarkan Widia tergantung di kamar berukuran 4 meter persegi. Dia membiarkannya agar bisa menjadi objek merenung, menata hati, dan laku supaya dapat hidup sesuai tuntunan Tuhan. Potret itu seperti bernyawa. Dia selalu tersenyum menyaksikan Widia yang kini hidup sukses sebagai wanita karier. (*) 

 

Wanar, 18 Maret 2023

 

*AHMAD ZAINI
Guru SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya bertebaran di berbagai media cetak dan online. Dua kali meraih penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Crative Camp (GCC) Apresiasi Penulis Buku (APB) tingkat Jawa Timur 2021 dan 2022.

KAMAR berukuran 4 meter persegi menyimpan seribu keluh. Ruang berdinding tembok ini menyembunyikan gejolak jiwa berontak dari wanita yang kini dikaruniai empat anak. Desah rintih kecewa terpendam di kamar. Suara isak tangis tak akan terdengar oleh siapa pun yang berada di luarnya. Tidak heran bila tiba-tiba penghuni kamar keluar dengan mata bengkak serta bekas air mata di pipi telah mengering.

Widia penghuni kamar ini. Dia sering meluapkan emosinya di dalam kamar. Tak jarang dia menangis sejadi-jadinya untuk meledakkan beban hidup bertahun-tahun bersemayam di dalam jiwanya. Menangis histeris seperti orang kerasukan makhluk halus. Memecahkan dan merusak barang apa pun bisa dijangkau tangannya.

Di dinding kamar kedap suara tegantung potret laki-laki paro baya. Potret tersebut seperti punya ruh. Memiliki kekuatan. Potret bergambar sosok laki-laki berwajah tampan dan berambut ikal ini yang sering mengaduk-aduk kejiwaan Widia. Tanpa sebab jelas, tiba-tiba Widia tertawa bangga seakan termotivasi potret itu. Widia terkadang tiba-tiba marah dan menangis sejadi-jadinya hingga membuang serta merusak barang di dekatnya juga karena potret itu.

Suami Widia hanya diam. Dia tidak berani menahan ketika istrinya sedang mengamuk seperti itu. Yang penting dilakukannya adalah menjauhkan anak-anak dari kamar. Sang suami paham dengan beban kenangan bersemayam dalam jiwa istrinya. Karena itu, sang suami tidak pernah marah apabila mendapati barang-barang di kamarnya hancur berantakan di kamar.

’’Tenangkan batinmu. Terimalah semua kejadian menimpa dirimu dengan ikhlas. Apalagi hal ini sudah terjadi puluhan tahun silam. Kendalikan emosimu. Ingat masa depan anak-anakmu sangat membutuhkan dirimu,” kata suaminya pada suatu hari.

- Advertisement -

’’Aku iri dengan mereka semenjak kecil mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah. Mereka memiliki banyak kenangan indah bersama ayahnya. Sedangkan aku?” kata Widia terputus.

’’Sabar. Semua orang memiliki takdir masing-masing. Memiliki jalan hidup yang berbeda-beda. Tak ada gunanya kecewa dengan masa lalu. Masa-masa suram yang pernah kamu alami, jadikanlah sebagai motivasimu untuk mengubah nasib menjadi lebih baik. Bukankah itu sering kau katakan padaku dan pada anak-anakmu?” nasihat suaminya.

Widia diam. Dia duduk di kasur sambil memandang pelan potret laki-laki yang tergantung di dinding. Air mata sayu Widia berkaca-kaca. Tak lama kemudian air mata bening menetes dari kelopaknya. Sang suami mengusap air mata Widia dengan penuh kasih sayang. Widia menghela napas panjang lalu melepas pelan-pelan. Dia mencoba meredakan emosi yang sempat menguasinya beberapa saat.

’’Di mana anak-anak?” tanya Widia.

’’Sengaja mereka kujauhkan darimu agar mereka tidak tahu kebiasaanmu ini,” jelasnya.

Ibu empat anak ini memang tidak seberuntung anak-anak sebayanya ketika masih kecil. Dia tidak tahu wajah ayah kandung telah meninggalkan ibu dan dirinya. Menurut cerita ibunya, ayah Widia telah pergi dan tidak pernah pulang sejak Widia berumur empat bulan. Konon, ayahnya dulu terpincut pada seorang wanita kini telah menjadi istri sahnya.

Kehidupan ayah Widia dan istri barunya tak mulus sebagaimana kata-kata pernah terucap saat masih pacaran. Kata-kata indah dan nikmat, ibarat tentang makanan, hanyalah fatamorgana. Hanya angan-angan tak pernah terbukti. Kehidupan ayah Widia hancur dengan ekonomi yang morat-marit. Terlebih ketika ayah Widia divonis menderita diabetes. Tatanan keluarganya semakin kacau. Dia sering dimaki-maki oleh istrinya dan dikata-katai lelaki tak berguna.

Mendengar kabar itu, sebagai seorang anak Widia sangat prihatin. Dia sangat kasihan pada sang ayah meskipun ia telah menelantarkan ibu dan dirinya. Widia menangis menatap potret ayahnya. Dia ingin menjemput dan mengajaknya hidup bersama-sama  lagi.

”Jangan, Nak! Jangan kau ajak ayahmu pulang. Biarkan dia menjalani pilihan hidupnya,” cegah ibu Widia.

’’Ibu masih ingat waktu itu. Ayah ingin rujuk dan hidup bersama ibu,” kata Widia.

’’Selama dia masih hidup bersama wanita itu, aku tidak akan mau menerimanya lagi. Aku tidak mau diduakan dengannya,” tegas ibu Widia.

Widia sangat memahami reaksi ibunya. Sosok ibu telah mengasuh Widia seorang diri sejak kecil dikecewakan oleh suami semestinya melindungi dan menafkahinya. Apalagi saat itu dia ditinggal pergi begitu saja saat Widia berusia empat bulan. Ibu Widia terpaksa memeras keringat, banting tulang, memenuhi kebutuhan keluarga kecilnya.

Ibu Widia wanita sangat kuat. Dia pekerja keras. Pagi-pagi berangkat ke pasar berjualan sayur. Pulang siang hari sambil menggendong Widia kala itu masih kecil. Sesampai di rumah dia harus memasak nasi memenuhi kebutuhan gizi diri dan anaknya.  Dia tidak ingin anaknya terkena stunting atau gizi buruk sehingga pertumbuhannya tidak normal.

Widia tumbuh remaja. Dia menjadi gadis sangat pintar. Beberapa kali dia mendapatkan penghargaan dari sekolah karena prestasinya. Sebab prestasi Widia inilah banyak pihak berempati dan memberi beasiswa sekolah sampai lulus kuliah.

”Pak, besok pagi kita menjenguk ayah bersama anak-anak,” ajak Widia.

”Yang benar,” goda suaminya.

”Benar. Saya ingin bertemu ayah. Kangen. Ayah juga biar tahu dan kenal cucu-cucunya,” tegas Widia.

”Baiklah. Tapi, kalau bertemu ayah, jangan nangis, ya!”

”Kamu ini,” pungkasnya sambil mencubit pinggang suaminya.

Ayah Widia meski telah meninggalkannya bertahun-tahun tetaplah seorang ayah baginya. Dia sosok ayah yang menyebabkan Widia lahir ke dunia. Sosok ayah kandung yang tetap harus dihargai dan dihormati. Widia tidak ingin disebut sebagai anak durhaka. Dia tidak ingin mengecewakan ayah meski telah menelantarkannya. Widia tetap ingin menyambung hubungan darah dan wali dengannya.

Siang hari Widia, suami, dan anak-anak telah sampai di rumah sederhana. Rumah itu dihuni oleh ayah dan ibu tiri. Widia mengetuk-ngetuk daun pintu rumah terbuat dari bahan kayu jati sambil memanggil-manggil penghuninya. Namun, sampai ketukan ke sekian kalinya, belum ada tanda-tanda orang akan membuka pintu dari dalam.

Di sekitar rumah ayahnya sepi. Tidak ada orang lewat untuk bisa ditanyai. Jam-jam siang memang warga di kampung ayah Widia banyak yang bekerja. Mereka menambang batu kapur di pegunungan tidak jauh dari kampung tersebut. Termasuh ayah Widia dan istrinya juga sebagai penambang batu kapur sebagai mata pencaharian.

Panas matahari semakin menyengat. Mereka berlindung di bawah teras rumah agak reot. Anak-anak melepas kancing baju karena berudara gerah. Sedangkan si kecil tertidur pulas di gendongan Widia.  ”Bagaimana? Kita tunggu atau pulang?” tanya suami Widia.

”Sebentar lagi, Mas. Biasanya pukul dua belas ayah dan istrinya pulang,” jawab Widia.

Baru selesai menjawab pertanyaan suaminya, dari kejauhan Widia melihat seorang lelaki berjalan pincang dengan menggunakan tongkat ditemani wanita paro baya.

”Itu mereka datang,” kata Widia sambil mengarahkan jari telunjuk ke arah dua orang yang berjalan mendekat ke tempatnya berteduh.

”Wid, sudah lama?” tanya lelaki pincang tak lain adalah ayah Widia.

“Lumayan, Yah.”

“Ayo, masuk,” ajak ayahnya.

Widia, suami, dan anak-anaknya masuk rumah. Mereka duduk sambil memandangi istri ayahnya yang sejak tadi membisu. Wajah perempuan itu cemberut. Keningnya berkerut seperti goresan ombak di hamparan pasir pantai Tuban.

”Sehat, Bu?” tanya Widia.

Istri ayahnya diam. Dia tidak menjawab pertanyaan Widia dengan sepatah kata pun dari mulutnya. Hati Widia bergemuruh. Emosinya meledak-ledak. Ia ingin mendamprat istri ayahnya.

’’Sabar!” bisik suami Widia.

’’Huh, dasar perebut suami orang! Andai tidak karena ayah, aku tak sudi datang ke sini,” gerutu Widia.

’’Ingat kata-kataku tadi. Jangan terbawa emosi.”

’’Halah!” sahut Widia dengan wajah merah padam.

’’Wid, kaki ayah semakin parah,” cerita ayah Widia memulai pembicaraan.

’’Lantas menurut dokter bagaimana?”

’’Harus diamputasi.”

”Sudah punya biaya?”

”Baru separo.”

”Aku ada tabungan. Mungkin bisa menjadi tambahan biaya operasi,” kata Widia menawari ayahnya.

”Tidak butuh bantuanmu. Biaya sudah kusiapkan semua. Ayahmu saja yang ruwet. Andai dulu mau diamputasi, sekarang pasti sudah beres,” sahut istri ayahnya dengan judes.

Widia seketika diam. Dadanya berdegub kencang menahan amarah. Dia ingin memuntahkan amarahnya, tetapi suaminya menahan. ”Ayo, kita pulang!” ajak Widia tiba-tiba sambil menggiring anak-anaknya ke mobil.

Suami Widia menggeleng-gelengkan kepala. Dia pasrah dan mengikuti keputusan istrinya mengajak pulang.  Begitulah Widia yang tak pernah bisa akur dengan istri ayahnya. Istri ayahnya judes dan sombong. Widia yang kini hidupnya di zona nyaman bersama keluarga, tetap ingin berbakti pada ayahnya dengan membantu biaya amputasi. Namun, apa boleh buat. Istri ayahnya menolak niat baik Widia dan membiarkan suaminya menderita dengan kondisi kaki semakin mengenaskan.

Widia bingung. Dia serba dilema. Ingin berbakti, tapi terbentur istri ayahnya. Akan tidak peduli, takut dianggap anak durhaka. Widia berusaha menjadi anak berbakti. Bila dalam usahanya itu mengalami hambatan, pasrahkan semua pada Tuhan tahu hal-ihwal hamba-Nya. Widia selalu berdoa buat ayahnya agar segera diberi kesembuhan oleh Tuhan dan hidupnya semakin tenteram.

Potret ayahnya dibiarkan Widia tergantung di kamar berukuran 4 meter persegi. Dia membiarkannya agar bisa menjadi objek merenung, menata hati, dan laku supaya dapat hidup sesuai tuntunan Tuhan. Potret itu seperti bernyawa. Dia selalu tersenyum menyaksikan Widia yang kini hidup sukses sebagai wanita karier. (*) 

 

Wanar, 18 Maret 2023

 

*AHMAD ZAINI
Guru SMKN 1 Lamongan. Beberapa cerpen dan puisinya bertebaran di berbagai media cetak dan online. Dua kali meraih penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Crative Camp (GCC) Apresiasi Penulis Buku (APB) tingkat Jawa Timur 2021 dan 2022.

Artikel Terkait

Gim Elektronik

Sehelai Kafan di Geladak Sampan

Warung Pinggir Pantai

Pesan Selembar Daun

Most Read

Artikel Terbaru


/