LELAKI paro baya itu terlihat termenung di sudut ruang tamu rumahnya. Rumah dengan ukuran 3×4 meter itu tak layak sebagai hunian. Kayu penopang atap plafon sudah tidak mampu menahan beban yang kian berat.
Terlihat rayap-rayap ramai menggerogoti tiang penyangga tersebut hingga keropos. Dinding rumah terbuat dari anyaman bambu itu juga terlihat kusam dan berlubang. Ditambah lagi musim penghujan seperti ini banyak genteng pecah dan berpindah tempat karena terbawa angin.
Tidak cukup persoalan hunian ia pikirkan. Urusan perut juga persoalan besar yang dihadapi Ghufron saat ini. Bersama istri dan seorang cucu berusia dua tahun Ghufron bertahan hidup di pinggiran kota metropolitan. Dinding ruang tamu kusam itu tak mampu menampung beban pikirannya makin bertambah. Ia berusaha mencari jawaban persoalan hidupnya itu di sela-sela lubang yang makin mengangga.
Hidup di kota metropolitan sebenarnya bukan pilihan terbaik bagi Ghufron. Ia sengaja merantau ke ibu kota atas bujukan temannya. Ia harus merelakan sawah ladangnya dan sepasang sapi hewan peliharaanya untuk dijual.
Ia dijanjikan akan diberikan pekerjaan layak dan gaji besar di Jakarta. Ternyata, usut punya usut Ghufron tertipu. Uang hasil penjualan sawah dan hewan ternaknya itu dibawa lari teman sekampungnya. Tak ada pilihan lain, nasi sudah menjadi bubur. Ghufron harus hidup di tengah hiruk pikuknya Jakarta dengan menjadi manusia silver bersama istri dan cucunya yang masih balita.
Manusia-manusia silver itu lahir dari keterpurukan dan keputusasaan dalam menjalani kehidupan. Segala cara ia lakukan di tengah kehidupan kapitalis menghimpit. Menjadi pilihan dari banyak pilihan lain yang tak sama. Mereka menjalaninya demi sebuah kebutuhan perut yang tak bisa di tawar-tawar lagi.
Perjalanan pagi itu diawali membeli cat silver dan minyak goreng. Segera Ghufron melumuri tubuhnya dengan cat silver. Mengolesinya dengan minyak goreng agar terlihat mengkilat. Setelah terlihat sempurna, Ghufron kemudian mencat tubuh istri dan cucunya yang masih balita.
Dengan berjalan kaki dari rumahnya, keduanya bergegas untuk mencari nafkah menjadi manusia silver. Dengan berbekal kardus kecil berwarna silver mereka berhenti di perempatan jalan. Bak sebuah patung berdiri di pinggir jalan mereka jalani hingga matahari hampir terbenam.
Ghufron tidak sendirian menjadi manusia silver di ibu kota. Manusia-manusia aneh ini mulai menjamur. Hampir di perempatan jalan mereka mematung menunggu iba para pengguna jalan. Persoalan sosial dengan motif ekonomi menjadi latar belakangnya. Sesekali terlihat kerdip mata mereka karena terik matahari. Dari ujung kepala hingga ujung kaki tubuh mereka penuh warna silver. Hanya mata dan mulutnya yang kelihatan putih dari kejauhan.
Sambil membungkukkan badan manusia silver menerima uang receh dari pengguna jalan. Mereka mengumpulkan rupiah dalam keangkuhan ibu kota demi bertahan hidup. Menjadi manusia silver terkadang juga penuh risiko. Mereka kucing-kucingan dengan petugas saat beroperasi. Tidak sedikit teman mereka meringkuk di dinas sosial akibat razia yang dilakukan petugas.
Lampu merah masih menyala. Lalu lalang kendaraan tidak pernah sepi. Denyut kehidupan kota metropolis seakan berpacu dengan ambisi dan keegoan diri. Mereka berebut pangkat dan kedudukan paling tinggi. Kadang harus menjegal kawan dan lawan demi posisi teratas itu.
Popularitas dan pengakuan dari warga net juga tak pelak untuk dilakukan demi pundi-pundi kantong pribadinya. Apa pun di lakukan kadang menisbikan sisi kemanusiaanya. Di sisi lain mereka berlomba-lomba menumpuk-numpuk materi demi kesenangan pribadi. Tak guna harus tahu kaum marginal dan termarginalkan seperti Ghufron dan keluarganya.
Paling-paling di musim pemilihan calon legislatif (caleg) seperti ini mereka menjadi kaum dielu-elukan dan menjadi bagian prioritas untuk diangkat derajatnya sesaat. Selanjutnya mereka menghilang bak ditelan bumi.
“Sudah malam bu? Mari pulang!” sambil mengandeng tangan istrinya Ghufron melangkah pulang di tengah-tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur.
Di atas gedung pencakar langit tampak bulan tersangkut di tower sebuah bangunan bintang lima. Hingga tak mampu mengikuti kepulangan tiga orang tersebut ke tempat peristirahatanya.
Di sepanjang jalan dilaluinya, Ghufron manusia silver itu mengenang saat-saat ia membajak sawah dengan sapi dijualnya itu. Ia rindu suasana desa tentram dan damai. Suara gemericik air di pematang sawah dan kicauan burung kenari berterbangan terlintas di kepalanya.
Sendau gurau bocah-bocah kecil berenang di sepanjang bantaran sungai sambil telanjang dada seakan menjadi hiburan tersendiri bagi Ghufron saat itu. Belum lagi terasa sangat nikmat bekal makanan yang di bawakan istrinya untuk ia makan di pematang sawah setelah setengah hari berjibaku dengan tanah.
“Hai kampreeet!!! Mau mati ya!!! Lihat mata lu!!!” Ucapan serapah dan makian dari pengguna motor hampir menabrak tubuh Ghufron.
Sambil tersentak lamunannya terbang saat makian itu masuk ke telinganya. Ia tak sadar bahwa langkah kakinya masuk ke bahu jalan. “Astagfirullah”, ucapnya dengan suara gemetaran. Segera ia ke tepi jalan dan meneruskan perjalananya sampai ke rumah.
Sesampai di rumah segera ia bersihkan wajah dan anggota tubuhnya makin mengeras tersengat matahari yang terik. Wajah dan tubuhnya memerah akibat pengaruh zat kimia melekat di sekujur tubuhya. Menjadi manusia silver hakikatnya pekerjaan sangat menyiksa bagi Ghufron.
Tapi, apa daya mau dikata. Untuk usaha lain ia tak memiliki modal usaha cukup. Terpaksa jalan ini ia pilih meski menyiksa diri dan istrinya. Segera direbahkan tubuhnya yang lelah itu di ruang tamu. Melihat istri dan cucunya yang tertidur seakan ia tak tega memandangnya.
Matanya basah kuyub oleh air mata kesedihan. Ia merasa berdosa menjerumuskan mereka ke Jakarta. Ia merasa malu jika harus kembali ke kampung halamannya. Sawah ladangnya musnah, hewan peliharaannya juga lenyap. Ia terkepung dengan pikiranya sendiri. Bak bola api siap membakarnya. Rasa lelah itu akhirnya membenamkan segala persoalan di kepalanya menuju negeri kapuk. Malam makin merayap. Hiruk pikuk kota masih terdengar riuh di ujung jalan utama. Beragam kesibukan malam warganya seakan menambah kepenatan ibu kota yang makin tua.
***
Pagi membangunkan tubuh Ghufron kian rapuh. Kali ini ia terlihat tak bergairah menapaki harinya menjadi manusia silver. Ia berubah pikiran. Ia tak mau lagi menjadi manusia silver. Dibuangnya cat warna silver itu ke tempat sampah di ujung gang. Segala atribut manusia silver pun raib dibenamkan ke tempat sampah.
Sambil menyulut rokok kretek, Ghufron berdiri di bantaran sungai dekat tempat tinggalnya. Sungai itu penuh sesak bekas limbah rumah tangga dibuang seenaknya. Pemandangan seperti ini menambah keruh pikirannya. Saat angin datang menghampiri sungai itu tercium bau busuk menyengat hidung.
Warna airnya pun berubah cokelat kehitam-hitaman. Dipandanginya bantaran sungai itu dengan muka penuh luka. Ingin rasanya ia kembali ke kampung halamanya. Mandi di sungai masih jernih airnya. Diiringi kecipak ikan yang berenang. Sungguh suasana seperti itu sangat membekas di ubun-ubun kepalanya.
Matahari agak meninggi. Orang-orang masih sibuk menata barang daganganya untuk mereka jual di pinggir jalan utama. Kampung kumuh itu bergeliat layaknya kampung-kampung yang lain. Tetapi, naas bagi mereka. Pagi ini satpol PP dan aparat keamanan sudah bersiap menggusur hunian bantaran sungai.
Berkali-kali diingatkan pemerintah kota agar mereka segera mengosongkan perabot rumah tangga yang ada. Alasan penggusuran itu karena mereka menempati tanah negara dan menjadi penyebab banjir saat musim penghujan.
Belum lagi menurut petugas, hunian di bantaran sungai dianggap merusak tatanan perkotaan. Imbauan itu rasanya seperti hembusan angin. Mereka tetap bertahan dengan sekuat tenaga untuk mempertahankan rumah tempat tinggalnya. Tak pelak kepala satpol PP beradu mulut dengan sekelompok warga masih bertahan.
Warga terkejut akan kedatangan mereka segera membuat barisan barakade membendung buldozer masuk ke kampung. Suasana memanas terdengar teriakan keras dari kepala satpol PP.
“Robohkan!!!”. “Majuuuu…!!!” raungan buldozer terdengar makin mendekat.
Orang-orang kampung bantaran sungai itu berupaya menghalau buldozer dengan alat seadanya. Keributan tak terhindarkan. Korban mulai berjatuhan kedua belah pihak. Suasana mencekam. Lemparan batu dan tembakan aparat ke udara berhamburan. Satu per satu penghuni hunian bantaran sungai itu tak berdaya.
Ghufron si manusia silver itu tak kuasa melawan aparat. Dilihatnya satu per satu tempat tinggal mereka hancur diterjang buldozer. Bagai tsunami gelombangnya siap menyeret apapun di hadapannya. Setengah jam berlalu kampung mereka rata dengan tanah tak ada yang tersisa. Tersisa wajah-wajah penuh kesedihan dan isak tangis kaum wanita dan anak-anak. Dari kejauhan terlihat beberapa orang mengais barang-barang masih dapat terselamatkan. ‘’Kita telah kalah dan dikalahkan” gumam Ghufron sambil tersungkur ke tanah.
Semenjak penggusuran kampung mereka menjadi kampung mati. Tak ada tanda tanda kehidupan. Hanya luas tanah terhampar. Denyut kehidupan dulu tampak ramai kini menjadi sepi. Perjuangan Ghufron bertahan hidup di ibu kota akhirnya terkoyak. Manusia silver itu tak mampu mengarungi kehidupan ibu kota begitu keras. Ibu kota diidam-idamkan semenjak keberangkatan dari tanah kampungnya menjadi preseden buruk bagi hidupnya.
Ibu kota ia harapkan dapat mengangkat derajatnya lebih terhormat nyatanya membenamkan menjadi manusia kerdil. Ia tak mampu bangkit dan berdiri menjadi manusia silver lagi. Yang tampak ruang kosong tak bertepi. Ruang imajinasi bercampur aduk dengan kenyataan. Mereka berlompatan memperkeruh jalan pikiran Ghufron tiada henti. Tanpa disadarinya manusia silver terseret kegelapan tiada ujung dan pangkalnya. Pandangan kosong melihat ke arah langit biru muda.
Dalam carut marut pikiran tak menentu Ghufron hilang kendali. Matanya memerah melihat sudut kota. Terlihat ia berlarian tak tentu arah. Langkahnya terhenti di ujung gang. Manusia silver itu lalu mendekati tempat sampah. Seolah-olah ada sesuatu yang dicarinya. Kedua tanganya dengan cepat mengeluarkan tumpukan plastik dan limbah rumah tangga dalam bak sampah.
Timbunan sampah itu dilihatnya dengan sorot mata tajam. Ia mendapatkan sesuatu dicarinya. Sebuah cat warna silver masih tergeletak. Tak lama kemudian ia berteriak histeris dan mencaci maki dirinya sambil menuangkan seluruh cat silver itu ke tubuhnya.
Ia sekarang sudah menjadi manusia silver lagi. Dalam bayangan terik matahari tubuhnya tampak terlihat jelas di aspal. Melihat bayang tubuhnya manusia silver itu tertawa dan menangis sendiri. Tak lama kemudian ia melangkah di perempatan jalan mematung sampai tak kenal waktu. Hingga cerita ini diturunkan, manusia silver itu masih terlihat berkeliaran di sudut-sudut kota, di pusat-pusat keramaian, dan lampu penyeberangan kota Anda. (*)
Bumi Utara, Februari 2023
*SUHARSONO A.Q.S
Guru MAN 1 Lamongan. Tinggal di Desa Sambopinggir Kecamatan Karangbinangun, Lamongan.