29.8 C
Bojonegoro
Monday, May 29, 2023

Bertelur di Sekolah

- Advertisement -

SEJAK duduk di kelas tiga, aku disuruh menggambar oleh guru terfavorit di kelas, dengan harapan memiliki keterampilan bidang  kesenian. Entah, berapa kali kucoba masih saja tidak mampu menguasai beberapa teknik yang diberikan.

Meskipun, papan tulis tumbuh lempeng lembah, gunung kembar, hutan gundul, bunga-bunga layu, bekas tebangan pohon, rumput kering, burung liar, dan matahari terbit dari timur Jawa menyalakan pagi.

Aku melihat wajah Bu Guru begitu menggebu-gebu, menyalakan mata api kepada siswa-siswi yang sedang fokus menggambar. Mondar-mandir dari tempat ke tempat lain. Tiba-tiba, ia berada di belakang tempat dudukku. Mengagetkan sekali.

“Adi gambarnya  bagus,” sapanya.

“Terima kasih, gambaran seperti ini, kok dibilang bagus,” gumamku.

- Advertisement -

Aku sengaja hanya mendengarkan sedikit pujian yang menggelitik. Bu Guru masih saja bisa usil terhadap siswa-siswi sedang belajar menggambar, terutama hasil gambarku yang sedikit lonjong seperti telur keluar dari sarang kepalanya.

Siang masih sunyi tiada gemuruh tawa sebelah kelasku yang berdekatan dengan kantin sekolahan. Alhamdulillah, bel istirahat terdengar nyaring di dalam  kelas. Aku melihat satu per satu teman-teman mengumpulkan tugas menggambarnya di meja guru. Sedangkan, aku masih saja merapikan butiran telur serupa gunung yang menukik ke atas sampai tembus awan.

Satu per satu teman-temanku meninggalkan tempat duduk. Tidak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit. Dengan keterbatasan waktu dan teknik sebisaku, aku mengumpulkan tanpa mengharapkan nilai yang sesuai ekspektasi lebih seperti yang selalu diharapkan orang tuaku ketika berangkat sekolah.

Pada pukul setengah sepuluh. Bu Guru meminta kepada ketua kelas untuk mengambil hasil nilai di kantor. Aku pun sudah tidak sabar lagi, ia akan berikan apresiasi nilai berapa terhadap hasil belajar gambar hari ini.

Ketika matahari tepat di atas kepala, teras sekolahan perlahan tiada bayang. Ketua kelas sedang membagikan puluhan buku gambar. Aku menunggu giliran, dan sangat penasaran sekali. Penuh dengan dag-dig-dug, plass! Akhirnya aku mendapatkan 0 (nol) lagi seperti hari-hari biasa pada umumnya. Mungkin ini sudah waktunya aku harus menerima satu angka yang tidak memiliki bilangan yang menguntungkan.

 

Sampai kapan aku harus mengumpulkan ratusan angka nol di seluruh buku pelajaran sekolahku. Aku berbeda dengan teman-teman sekelas, yang kerap mendapatkan nilai delapan puluh, sembilan puluh, sampai seratus. Memang, di antara empat puluh tiga siswa-siswi di kelas, aku sendiri yang paling malas menggambar. Berangkat sekolah saja malas, apalagi belajar dan menjadi anak rajin pangkal pandai bukan pangkal pinang yang mudah dikenang.

Materi pelajaran sekolah telah selesai. Aku pulang sendirian dengan berjalan kaki kurang lebih 30 menit, sembari membawa sekarung tas berisi angka nol. Kulewati lereng-lereng pematang sawah, melihat domba melahap rumput liar, melihat sapi bekerja di tulang punggung manusia, hingga sampai menyebrangi jembatan kayu yang  dipisahkan oleh sungai terbentang panjang.

Kicauan burung masih terngiang-ngiang di perjalanan panjangku siang itu. Di antara pohon-pohon bambu dan serpihan-serpihan pembajak lahan terbahak-bahak, melihatku kenakan seragam tak sepadan. Antara atas putih dan bawah cokelat pada hari Rabu.

Sesekali aku harus lari. Hanya ingin melihat deretan pohon berjalan mundur dan mendung putih begitu cepat berlalu dari jalanku. Halaman rumahku sudah terlihat dari kejauhan meski masih tampak kecil seperti gubuk-gubuk di puluhan petak sawah. Tak pernah ada pasar siang yang riuh gemuruh riang, hanya ada delapan pemukiman di pedalaman.

Ibu sudah menyapaku di pintu rumah. Melempar senyum bahagia, kepada putra sulungnya yang sebenarnya nakal begitu kekal tidak pernah santun dari ribuan pantun yang bisa dijadikan sebagai penuntun. Kulemparkan tas berisi tiga mata pelajaran sekolah di ruang tamu. Melepaskan baju seragam di dipan. lalu menuju ruang makan yang sudah tersediakan.

***

 

Sejak kecil aku memang nakal sekali. Malas belajar tiada henti menghajar. Terkadang aku pun tidak pernah menerima makanan sepulang sekolah yang hanya ada tempe dan sambal. Aku seorang pelajar bandel ingin makan enak, tetapi pemalas, pembantah orang tua, dan sangat pembangkang sekali.

Entah apa yang membuatku seperti itu sejak kecil. Aku suka membanting piring berisi nasi dan lauk karena tidak sesuai selera. Tidak ada satu pun kerupuk, apalagi ayam yang saban pagi hilir mudik di halaman rumah mencari makan.

Aku sama sekali pun tidak menyadari bahwa dulu seperti itu, nakal yang berlebihan terhadap orang tua. Untung tidak dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang. Bila kutukan orang tua terhadap anak bisa dipesan, aku ingin dikutuk menjadi orang sukses. Hahaha.

Sore masih panjang, masa kecil yang lalim, polos, dan bar-bar telah termakan usia. Semakin dewasa, rasa-rasanya ingin kembali ke masa kecil yang suka marah-marah dan bentak-bentak tidak jelas kepada orang tua.

Perlahan aku mengintip Ibu dari lubang gedek dapur. Ia sedang sibuk membuka satu per satu buku mata pelajaran di sekolah. Ada pelajaran bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, dan menggambar. Dari empat pelajaran tersebut, aku benar-benar pemecah rekor muri di sekolah. Mendapatkan empat telur hangat yang baru saja menetas dari nasib guruku selama setengah hari.

“Adi, sini!” Ibu memanggil.

“Iya, Buk,” jawabku.

“Kenapa semua dapat nol?”

“Itu bukan angka nol, Buk!”

“Terus apa?”

“Itu telur, karena hari Rabu adalah hari istimewa di sekolah, jadi seluruh pelajar sekolah diharap untuk memperbanyak mengonsumsi telur. Makanya aku diberi empat telur. Disuruh makan tiap kali berangkat dan sepulang sekolah.”

“Hahaha, kamu bisa saja!”

“Yasudah, aku main dulu sama teman-teman ya, Buk?”

“Iya, jangan lupa nanti sore pulang, ada jam ngaji!”

“Baik, Buk”

Selesai bercakap-cakap dengan Ibu, aku izin untuk pergi bermain bersama teman-teman ke sebuah kedung sungai dekat perkampungan. Aku berjalan perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah, menuju titik kumpul untuk merencanakan sesuatu.

Ada satu temanku selalu memiliki ide cemerlang. Biasanya, kami berenang tanpa menggunakan media apa pun demi menunjang keselamatan. Hanya ada satu batang pohon pisang sebagai penampung atau pelampung di tengah arus sungai deras dan kedalaman begitu curam.

Dua jam lebih kami bluron. Kedua mataku memerah seperti mata singa yang lapar. Aku ingin belajar koprol (terjun menukik dari atas ke bawah). Kuamati satu per satu teman-teman, dengan teknik kuasa masing-masing. Ada jungkir kekiri-kekanan dengan tiga putaran. Aku mencoba beberapa kali tetapi selalu gagal. Aku masih saja terjun lurus ke bawah seperti matahari menggelinding dan jatuh ke dalam air.

Muara sungai tidak pernah kuteliti dengan berjelajah waktu itu, hanya hulu yang menjadi obyek satu-satunya. Sebuah Waduk Pacal yang dibangun Belanda dari belasan tahun lalu. Kami pun bosan dengan permainan koprol, berlanjut bermain petak umpet, siapa yang kalah dalam hompimpa alaehum gambreng dengan menggunakan media telapak tangan. Jika di antara kami yang beda sendiri, dia yang kalah dan berjaga di hilir. Kemudian memburu di antara kita. Jika tertangkap, maka ia gugur atau kalah dalam permainan.

Selang satu jam lebih, kami merasa bosan juga. Sungai yang berwarna butek (cokelat keruh) sama sekali pun tidak merasa waswas akan pelbagai penyakit, tidak sehat, tidak layak dipakai mandi, dan seterusnya. Kami selalu merasa puas karena bisa menghabiskan waktu bermain bersuka ria.

Sungai kecil kampung halaman, memang tempat bermain prioritas di kala musim hujan selesai sekolah atau masa liburan. Kami berlanjut bermain tanah liat (lempung atau ampo) dengan belajar menjadi perajin tanah liat berdasarkan keinginan masing-masing. Ada di antara kami membuat jenis manusia tanpa kepala, hewan tanpa kaki, manusia tanpa mulut, mata tanpa bulu, telinga tanpa bentuk, dan rambut menuai keriput. Hasil dari beberapa keisengan bermain tanah liat tersebut, kami keringkan dari terik matahari. Kian kering, hasilnya memuaskan untuk dijadikan hiasan di ruang tamu.

Tidak terasa, sekira tiga jam kami bermain. Memang sudah waktunya pulang ke rumah untuk melanjutkan belajar mengaji di salah satu madrasah Taman Belajar Quran setempat bersama kiai musala.

***

 

Mendung tampak bingung. Entah kepalaku yang linglung atau kampung halamanku akan dikepung hujan sore ini. Aku bersama teman-temanku bergegas untuk kembali ke rumah masing-masing. Setiba di depan rumah, aku melihat Ibu kelihatan resah menunggu putra sulung tak pulang-pulang.

Sementara itu, Bapak pun tidak ada di halaman, apalagi di dalam rumah, mungkin masih di sawah merawat kembali tunas rempah, sebagai pasokan ketahanan pangan keluarga dalam menghadapi krisis pangan.

“Ayo mandi, makan, dan berangkat ngaji,” perintah Ibu.

“Iya, Ibuk masak apa sore ini?”

“Habis goreng telur dadar, hasil dari jerih payahmu belajar di sekolah hari ini,” sembari melemparkan senyum.

Aku tertawa-tawa. Tiada habis.

Selesai makan, hujan turun begitu deras disertai petir dan angin kencang mengungsi di kampungku. Aku tidak jadi berangkat mengaji. Sedangkan, Ibu masih sibuk mencari ublik dan bak. Aku disuruh memakai bak sebagai kerudung -entah apa maksudnya-, dan menjaga pintu depan yang tertutup sambil mengintip pohon-pohon waru dari lubang pintu diterpa kemarahan angin tiada henti.

Ibuku berada tepat di sampingku. Ia sedang mencemaskan Bapak yang belum pulang dari sawah. Aku cuma diam saja sambil melihat para tetanggaku yang membaca ritual dengan caranya masing-masing. Ada yang melempar nasi satu entong, mengangkat sapu lidi di pojokan rumah, dan melempar cangkul di depan rumah. Mereka berharap hujan angin dan petir reda.

Aku memanggil Ibu, tetapi tidak ada lagi di belakangku. Ternyata, Ibu sedang berada di pintu belakang, sedang menunggu Bapak yang tidak kunjung datang. Hujan semakin deras, air pun kian meninggi membanjiri halaman rumah sampai tenggelamkan separuh bunga-bungaku yang masih bertahan.

Dari jauh, aku melihat Bapak pulang, membawa sepikul singkong, dengan wajah dan tubuh tampak menggigil kedinginan. Ibu tidak lagi mondar-mandir dan segera mengambilkan handuk dan sarung untuk diberikan kepadanya.

‘’Sudah tahu akan turun hujan, kok tidak segera pulang?” marah Ibu.

‘’Tapi, di sawah langitnya cerah. Makanya aku lanjutkan memanen singkong di tepian-tepian sawah,’’ jawab Bapak sembari meletakkan singkong yang dibawanya.

‘’Cepat mandi dan ganti baju,” perintah Ibu.

Percakapan tidak berlanjut lama, Ibu meninggalkan kami berdua di samping pintu rumah belakang. Bapak terlihat letih, lelah, dan sedikit pucat, selesai tersapu dingin kepala Ibu. (*)

 

 

*) MUHAMMAD ANDREA
Penyaji kopi di Sematta Coffee, Perumahan Pandawa Land, Pacul, Bojonegoro. Aktif dalam Forum Kajian Sastra Sabtu Minggu Satu Buku di Komunitas Sematta Sastra.

SEJAK duduk di kelas tiga, aku disuruh menggambar oleh guru terfavorit di kelas, dengan harapan memiliki keterampilan bidang  kesenian. Entah, berapa kali kucoba masih saja tidak mampu menguasai beberapa teknik yang diberikan.

Meskipun, papan tulis tumbuh lempeng lembah, gunung kembar, hutan gundul, bunga-bunga layu, bekas tebangan pohon, rumput kering, burung liar, dan matahari terbit dari timur Jawa menyalakan pagi.

Aku melihat wajah Bu Guru begitu menggebu-gebu, menyalakan mata api kepada siswa-siswi yang sedang fokus menggambar. Mondar-mandir dari tempat ke tempat lain. Tiba-tiba, ia berada di belakang tempat dudukku. Mengagetkan sekali.

“Adi gambarnya  bagus,” sapanya.

“Terima kasih, gambaran seperti ini, kok dibilang bagus,” gumamku.

- Advertisement -

Aku sengaja hanya mendengarkan sedikit pujian yang menggelitik. Bu Guru masih saja bisa usil terhadap siswa-siswi sedang belajar menggambar, terutama hasil gambarku yang sedikit lonjong seperti telur keluar dari sarang kepalanya.

Siang masih sunyi tiada gemuruh tawa sebelah kelasku yang berdekatan dengan kantin sekolahan. Alhamdulillah, bel istirahat terdengar nyaring di dalam  kelas. Aku melihat satu per satu teman-teman mengumpulkan tugas menggambarnya di meja guru. Sedangkan, aku masih saja merapikan butiran telur serupa gunung yang menukik ke atas sampai tembus awan.

Satu per satu teman-temanku meninggalkan tempat duduk. Tidak terasa sudah pukul sembilan lebih lima belas menit. Dengan keterbatasan waktu dan teknik sebisaku, aku mengumpulkan tanpa mengharapkan nilai yang sesuai ekspektasi lebih seperti yang selalu diharapkan orang tuaku ketika berangkat sekolah.

Pada pukul setengah sepuluh. Bu Guru meminta kepada ketua kelas untuk mengambil hasil nilai di kantor. Aku pun sudah tidak sabar lagi, ia akan berikan apresiasi nilai berapa terhadap hasil belajar gambar hari ini.

Ketika matahari tepat di atas kepala, teras sekolahan perlahan tiada bayang. Ketua kelas sedang membagikan puluhan buku gambar. Aku menunggu giliran, dan sangat penasaran sekali. Penuh dengan dag-dig-dug, plass! Akhirnya aku mendapatkan 0 (nol) lagi seperti hari-hari biasa pada umumnya. Mungkin ini sudah waktunya aku harus menerima satu angka yang tidak memiliki bilangan yang menguntungkan.

 

Sampai kapan aku harus mengumpulkan ratusan angka nol di seluruh buku pelajaran sekolahku. Aku berbeda dengan teman-teman sekelas, yang kerap mendapatkan nilai delapan puluh, sembilan puluh, sampai seratus. Memang, di antara empat puluh tiga siswa-siswi di kelas, aku sendiri yang paling malas menggambar. Berangkat sekolah saja malas, apalagi belajar dan menjadi anak rajin pangkal pandai bukan pangkal pinang yang mudah dikenang.

Materi pelajaran sekolah telah selesai. Aku pulang sendirian dengan berjalan kaki kurang lebih 30 menit, sembari membawa sekarung tas berisi angka nol. Kulewati lereng-lereng pematang sawah, melihat domba melahap rumput liar, melihat sapi bekerja di tulang punggung manusia, hingga sampai menyebrangi jembatan kayu yang  dipisahkan oleh sungai terbentang panjang.

Kicauan burung masih terngiang-ngiang di perjalanan panjangku siang itu. Di antara pohon-pohon bambu dan serpihan-serpihan pembajak lahan terbahak-bahak, melihatku kenakan seragam tak sepadan. Antara atas putih dan bawah cokelat pada hari Rabu.

Sesekali aku harus lari. Hanya ingin melihat deretan pohon berjalan mundur dan mendung putih begitu cepat berlalu dari jalanku. Halaman rumahku sudah terlihat dari kejauhan meski masih tampak kecil seperti gubuk-gubuk di puluhan petak sawah. Tak pernah ada pasar siang yang riuh gemuruh riang, hanya ada delapan pemukiman di pedalaman.

Ibu sudah menyapaku di pintu rumah. Melempar senyum bahagia, kepada putra sulungnya yang sebenarnya nakal begitu kekal tidak pernah santun dari ribuan pantun yang bisa dijadikan sebagai penuntun. Kulemparkan tas berisi tiga mata pelajaran sekolah di ruang tamu. Melepaskan baju seragam di dipan. lalu menuju ruang makan yang sudah tersediakan.

***

 

Sejak kecil aku memang nakal sekali. Malas belajar tiada henti menghajar. Terkadang aku pun tidak pernah menerima makanan sepulang sekolah yang hanya ada tempe dan sambal. Aku seorang pelajar bandel ingin makan enak, tetapi pemalas, pembantah orang tua, dan sangat pembangkang sekali.

Entah apa yang membuatku seperti itu sejak kecil. Aku suka membanting piring berisi nasi dan lauk karena tidak sesuai selera. Tidak ada satu pun kerupuk, apalagi ayam yang saban pagi hilir mudik di halaman rumah mencari makan.

Aku sama sekali pun tidak menyadari bahwa dulu seperti itu, nakal yang berlebihan terhadap orang tua. Untung tidak dikutuk jadi batu seperti Malin Kundang. Bila kutukan orang tua terhadap anak bisa dipesan, aku ingin dikutuk menjadi orang sukses. Hahaha.

Sore masih panjang, masa kecil yang lalim, polos, dan bar-bar telah termakan usia. Semakin dewasa, rasa-rasanya ingin kembali ke masa kecil yang suka marah-marah dan bentak-bentak tidak jelas kepada orang tua.

Perlahan aku mengintip Ibu dari lubang gedek dapur. Ia sedang sibuk membuka satu per satu buku mata pelajaran di sekolah. Ada pelajaran bahasa Indonesia, matematika, bahasa Inggris, dan menggambar. Dari empat pelajaran tersebut, aku benar-benar pemecah rekor muri di sekolah. Mendapatkan empat telur hangat yang baru saja menetas dari nasib guruku selama setengah hari.

“Adi, sini!” Ibu memanggil.

“Iya, Buk,” jawabku.

“Kenapa semua dapat nol?”

“Itu bukan angka nol, Buk!”

“Terus apa?”

“Itu telur, karena hari Rabu adalah hari istimewa di sekolah, jadi seluruh pelajar sekolah diharap untuk memperbanyak mengonsumsi telur. Makanya aku diberi empat telur. Disuruh makan tiap kali berangkat dan sepulang sekolah.”

“Hahaha, kamu bisa saja!”

“Yasudah, aku main dulu sama teman-teman ya, Buk?”

“Iya, jangan lupa nanti sore pulang, ada jam ngaji!”

“Baik, Buk”

Selesai bercakap-cakap dengan Ibu, aku izin untuk pergi bermain bersama teman-teman ke sebuah kedung sungai dekat perkampungan. Aku berjalan perlahan-lahan meninggalkan halaman rumah, menuju titik kumpul untuk merencanakan sesuatu.

Ada satu temanku selalu memiliki ide cemerlang. Biasanya, kami berenang tanpa menggunakan media apa pun demi menunjang keselamatan. Hanya ada satu batang pohon pisang sebagai penampung atau pelampung di tengah arus sungai deras dan kedalaman begitu curam.

Dua jam lebih kami bluron. Kedua mataku memerah seperti mata singa yang lapar. Aku ingin belajar koprol (terjun menukik dari atas ke bawah). Kuamati satu per satu teman-teman, dengan teknik kuasa masing-masing. Ada jungkir kekiri-kekanan dengan tiga putaran. Aku mencoba beberapa kali tetapi selalu gagal. Aku masih saja terjun lurus ke bawah seperti matahari menggelinding dan jatuh ke dalam air.

Muara sungai tidak pernah kuteliti dengan berjelajah waktu itu, hanya hulu yang menjadi obyek satu-satunya. Sebuah Waduk Pacal yang dibangun Belanda dari belasan tahun lalu. Kami pun bosan dengan permainan koprol, berlanjut bermain petak umpet, siapa yang kalah dalam hompimpa alaehum gambreng dengan menggunakan media telapak tangan. Jika di antara kami yang beda sendiri, dia yang kalah dan berjaga di hilir. Kemudian memburu di antara kita. Jika tertangkap, maka ia gugur atau kalah dalam permainan.

Selang satu jam lebih, kami merasa bosan juga. Sungai yang berwarna butek (cokelat keruh) sama sekali pun tidak merasa waswas akan pelbagai penyakit, tidak sehat, tidak layak dipakai mandi, dan seterusnya. Kami selalu merasa puas karena bisa menghabiskan waktu bermain bersuka ria.

Sungai kecil kampung halaman, memang tempat bermain prioritas di kala musim hujan selesai sekolah atau masa liburan. Kami berlanjut bermain tanah liat (lempung atau ampo) dengan belajar menjadi perajin tanah liat berdasarkan keinginan masing-masing. Ada di antara kami membuat jenis manusia tanpa kepala, hewan tanpa kaki, manusia tanpa mulut, mata tanpa bulu, telinga tanpa bentuk, dan rambut menuai keriput. Hasil dari beberapa keisengan bermain tanah liat tersebut, kami keringkan dari terik matahari. Kian kering, hasilnya memuaskan untuk dijadikan hiasan di ruang tamu.

Tidak terasa, sekira tiga jam kami bermain. Memang sudah waktunya pulang ke rumah untuk melanjutkan belajar mengaji di salah satu madrasah Taman Belajar Quran setempat bersama kiai musala.

***

 

Mendung tampak bingung. Entah kepalaku yang linglung atau kampung halamanku akan dikepung hujan sore ini. Aku bersama teman-temanku bergegas untuk kembali ke rumah masing-masing. Setiba di depan rumah, aku melihat Ibu kelihatan resah menunggu putra sulung tak pulang-pulang.

Sementara itu, Bapak pun tidak ada di halaman, apalagi di dalam rumah, mungkin masih di sawah merawat kembali tunas rempah, sebagai pasokan ketahanan pangan keluarga dalam menghadapi krisis pangan.

“Ayo mandi, makan, dan berangkat ngaji,” perintah Ibu.

“Iya, Ibuk masak apa sore ini?”

“Habis goreng telur dadar, hasil dari jerih payahmu belajar di sekolah hari ini,” sembari melemparkan senyum.

Aku tertawa-tawa. Tiada habis.

Selesai makan, hujan turun begitu deras disertai petir dan angin kencang mengungsi di kampungku. Aku tidak jadi berangkat mengaji. Sedangkan, Ibu masih sibuk mencari ublik dan bak. Aku disuruh memakai bak sebagai kerudung -entah apa maksudnya-, dan menjaga pintu depan yang tertutup sambil mengintip pohon-pohon waru dari lubang pintu diterpa kemarahan angin tiada henti.

Ibuku berada tepat di sampingku. Ia sedang mencemaskan Bapak yang belum pulang dari sawah. Aku cuma diam saja sambil melihat para tetanggaku yang membaca ritual dengan caranya masing-masing. Ada yang melempar nasi satu entong, mengangkat sapu lidi di pojokan rumah, dan melempar cangkul di depan rumah. Mereka berharap hujan angin dan petir reda.

Aku memanggil Ibu, tetapi tidak ada lagi di belakangku. Ternyata, Ibu sedang berada di pintu belakang, sedang menunggu Bapak yang tidak kunjung datang. Hujan semakin deras, air pun kian meninggi membanjiri halaman rumah sampai tenggelamkan separuh bunga-bungaku yang masih bertahan.

Dari jauh, aku melihat Bapak pulang, membawa sepikul singkong, dengan wajah dan tubuh tampak menggigil kedinginan. Ibu tidak lagi mondar-mandir dan segera mengambilkan handuk dan sarung untuk diberikan kepadanya.

‘’Sudah tahu akan turun hujan, kok tidak segera pulang?” marah Ibu.

‘’Tapi, di sawah langitnya cerah. Makanya aku lanjutkan memanen singkong di tepian-tepian sawah,’’ jawab Bapak sembari meletakkan singkong yang dibawanya.

‘’Cepat mandi dan ganti baju,” perintah Ibu.

Percakapan tidak berlanjut lama, Ibu meninggalkan kami berdua di samping pintu rumah belakang. Bapak terlihat letih, lelah, dan sedikit pucat, selesai tersapu dingin kepala Ibu. (*)

 

 

*) MUHAMMAD ANDREA
Penyaji kopi di Sematta Coffee, Perumahan Pandawa Land, Pacul, Bojonegoro. Aktif dalam Forum Kajian Sastra Sabtu Minggu Satu Buku di Komunitas Sematta Sastra.

Artikel Terkait

Gim Elektronik

Sehelai Kafan di Geladak Sampan

Warung Pinggir Pantai

Pesan Selembar Daun

Gelombang Samudra

Most Read

Artikel Terbaru


/