DI penghujung Sya’ban tampak bulan tak seperti biasanya. Langit terlihat cerah tanpa awan hitam berarak. Angin datang perlahan mengusap dedaunan. Daun-daun kering berguguran ke tanah basah, tergantikan kuncup-kuncup yang mulai bermekaran.
Seakan menyambut kekasih yang dirindukan. Cericit burung bertengger di atas dahan ramai berbincang tentang bulan agung itu. Mereka bersiul bersahutan hingga lepas siang hari.
Pohon tempat bertenggernya burung-burung tersebut pun mendadak warna daunnya berubah menjadi hijau berseri. Kerinduan datangnya bulan pengampunan itu juga diikuti pohon-pohan lainnya. Seakan mereka sepakat menghijaukan daunnya secara serentak. Terlihat jelas pohon-pohon tumbuh di sekitar surau Mbah Robach, hari ini tampak jauh lebih sejuk dan teduh. Membuat orang-orang betah berlama-lama di sana.
Tak jauh dari surau terdapat sebuah kolam dikelilingi pohon pisang. Orang-orang kampung biasanya mengambil buah pisang itu diolah menjadi kolak pisang saat berbuka puasa. Juga dimaanfaatkan pisang goreng disediakan bagi para penadarus Alquran selesai Salat Tarawih.
Meski diambil berkali-kali, pohon pisang tersebut selalu berbuah tanpa henti. Konon katanya kejadian itu disebabkan keikhlasan dan keberkahan Mbah Robach merawat dan menjaga surau tersebut.
Keberkahan lain tidak kalah mencengangkan adalah ikan-ikan penunggu kolam tersebut. Seakan tiada habis-habisnya, meski diambil berkali-kali. Siapa pun boleh mengambil ikan dalam kolam dengan syarat untuk dimakan. Sebagai kebutuhan hidup bukan untuk dijual ke pasar. Begitulah isyarat saya dengar dari orang-orang tinggal di sekitar surau bangunanya terlihat makin menua.
Sebagai penjaga surau Mbah Robach tak pernah meminta imbalan dari orang-orang kampung. Bahkan terkadang orang-orang kampung memintai tolong menyembelihkan hewan ternak mereka. Itu pun Mbah Robach enggan menerima uang. Hanya karena merasa terpojok dan sedikit memaksa akhirnya Mbah Robach mau menerima selawat.
Belum lagi anak-anak mereka rewel karena demam tinggi. Cukup dengan sebotol air putih dibawa dari rumah dan dibacakan doa-doa akhirnya penyakit mereka mereda. Semua tanpa imbalan. Pekerjaan dilakukanya itu tak lain sebagai penebus dosa-dosanya di masa lampau.
Di sisa umurnya sudah kepala tujuh. Ia dermakan jiwa dan raganya Sabilillah yakni berjuang di jalan Allah SWT. Mengurus surau bagi Mbah Robach seakan sudah menjadi bagian dari hidupnya. Datang ke surau tatkala orang-orang sedang tertidur pulas.
Dengan mengumandangkan tarkhim sebelum subuh ia bangunkan orang-orang kampung agar menjenguk tuhannya. Kemudian membersihkan surau dan menata tikar untuk jamaah yang akan datang. Saat tiba datang waktu subuh, ia segera kumandangkan azan dengan suaranya yang timbul tenggelam karena tarikan napasnya tak sebagus saat masih muda.
Panggilan menuju kebaikan. Panggilan menuju kesuksesan. Panggilan menuju kebahagian telah ia lantunkan. Subuh yang hening tersebut seakan mencuci jiwa-jiwa dihinggapi segala macam jenis penyakit hati. Bukankah setiap langkah kita ke masjid berseru agar hati, lisan, pendengaran, dan penglihatan dijadikan bercahaya. Depan, belakang, atas dan bawah kita dipenuhi cahaya. Dan, kita pula berseru agar kita dipenuhi dengan cahaya.
Setelah jamaah subuh telah usai, Mbah Robach berjalan mengelilingi kolam depan surau dengan memberikan makan ikan-ikan. Suasana tenang dan damai begitu terasa. Kecipak ikan-ikan berebut makanan terdengar jelas dari kejauhan. Tetesan embun pagi jatuh dari daun pisang. Menambah aroma syahdu pagi ini.
Tak terasa tetes air mata Mbah Robach mengalir dari kedua kelopak matanya mulai keriput. Dalam bendar air kolam, Mbah Robach melihat bayangan dirinya memantul sangat jelas. Ia melihat betul kesalahan-kesalahan diperbuatnya pada masa silam.
Ia telah mengotori tangan dan kakinya untuk melakukan perbuatan tercela. Tak sedikit waktu digunakan pada masa lalunya kecuali untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Langkah kakinya terasa berat tatkala diajak ke masjid. Lisannya terlalu kaku melantunkan kalam Allah.
Hatinya keras diajak melakukan kebaikan. Karena itu, ia bertekad di bulan Ramadan akan segera tiba nanti adalah bulan pertemuan terakhir baginya.
Sehingga ia betul-betul berharap agar dosa-dosanya diampuni dan kembali kepada sang pencipta dalam keadaan bersih dan tenang. Langkah kecil Mbah Robach terhenti tatkala terdengar suara pelan memangilnya. Mendengar suara memanggilnya itu segera ia menoleh ke belakang.
Pandangan matanya menyebar ke segala arah. Ternyata yang terdengar hanya gesekan daun pisang tertiup angin. Sesekali ia mengendap-endap di antara rapatnya pohon pisang, ternyata hasilnya nihil.
Tak seorang pun dijumpainya. Segera ia teruskan pekerjaanya memberi makan ikan-ikan di kolam sambil mengucapkan istigfar berkali-kali. Tak berapa lama suara itu terdengar muncul kembali. Ternyata suara itu berasal dari gundukan bukit tak jauh dari kolam ikan.
Dialah Kardi manusia cebol haus tentang agama. Ia ingin mendengarkan nasihat dari Mbah Robach tentang puasa. Dengan senyum bahagia Mbah Robach mengucapkan salam dan menjabat tanganya dengan lembut. Mereka berbincang di pinggir kolam ikan dengan gayeng.
“Mbah, kenapa kita perlu berpuasa?” tanyanya dengan nada heran.
“Puasa itu adalah perisai. Pelindung kita dari jilatan api neraka” jawab Mbah Robach sambil menepuk pundak Kardi.
“Puasa itu juga menyehatkan tubuh kita Kardi! Coba bayangkan kalau mesin itu menyala terus tanpa istirahat, lama-kelamaan akan aus dan rusak. Sama halnya dengan pencernaan kita. Selama setahun ia bekerja pagi, siang, malam tanpa henti. Maka apa yang terjadi? Dia akan rusak juga kan… begitulah pentingnya puasa itu Kardi bagi kesehatan kita.”
Mendengar penjelasan mbah Robach Kardi semakin yakin bahwa segala sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt pasti akan memberikan kebaikan pada hidup dan kehidupan kita. Dan apa yang dilarang pasti akan merusak hidup dan kehidupan kita.
Kini bulan dirindukannya itu akan segera tiba. Tampak wajah semringah Mbah Robach terpancar. “Barang siapa bergembira dengan masuknya bulan Ramadan, maka Allah akan mengharamkan jasadnya masuk neraka” Begitulah penjelasan Mbah Robach mengutip dari penjelasan hadits kepada Kardi saat pertemuan di surau itu.
Semestinya seperti itulah gambaran menyambut datangnya bulan yang agung. Perasaan senang bercampur aduk dengan amalan-amalan akan dilipatgandakan agar bisa kita raih.
Sedih manakala kita tidak dapat memanfaatkan waktu tersebut dengan perbuatan yang sia-sia. Tak ada ruang dari ruang yang ada selain kita gunakan untuk beribadah kepada Allah SWT. Bukankan di bulan itu pintu surga dibuka dengan selebar-lebarnya dan pintu neraka ditutup rapat-rapat serta setan dibelenggu. Artinya kesempatan berbuat baik dengan pahala berlimpah dihamparkan seluas-luasnya. Tinggal bagaimana kita menentukan pilihan. Mengikuti fitrah kita atau mengikuti nafsu kita.
Sya’ban telah berakhir. Sore itu langit begitu khusyuk menanti pergantian satu Ramadan. Semesta bertasbih menunggu hilal merangkak muncul dari ufuk. Sebagai pertanda pergantian bulan baru. Gelombang laut tunduk mengucapkan istigfar pada kilauan cahaya senja hampir redup.
Malam merayap menyusuri gunung, hutan, lautan, sawah hingga sampai pada surau Mbah Robach. Doa dipanjatkan berulang-ulang oleh Mbah Robach terjawab. ‘’Ya Allah, berkahilah kami bulan Rajab dan bulan Sya’ban dan pertemukanlah kami dengan Ramadan.” Seperti pertemuan dengan kekasih dirindukan.
Mbah Robach bersujud mengucapkan syukur tak terhingga. Dalam sujudnya itu terlihat derai air matanya membasahi sajadah tua telah menemaninya hingga saat ini.
Malam ini Salat Tarawih dimulai dengan hati lapang. Senang bercampur haru terasa. Akhirnya Ramadan datang juga. Orang-orang kampung berdatangan memenuhi seruan azan. Terlihat Kardi mengumandangkan iqamah penanda dimulainya salat Isya berjamaah di lanjut dengan Salat Tarawih. Sudah empat rakaat berjalan. Suasana khidmat menyeruak bersama dengan bau harum tercium.
Saat sujud di akhir rakaat keempat, jamaah salat Tarawih gempar. Mbah Robach tersungkur dalam sujudnya yang panjang. Bulan dirindukanya berbalik arah.
Penduduk langitlah merindukan ruh Mbah Robach. Kerinduan langit atas ruh Mbah Robach sudah lama dinantikan. Para malaikat berjajar menyambut kedatangan ruh orang soleh itu. Mereka menyampaikan salam secara bergantian. Duka mendalam dirasakan orang-orang kampung. Sosok ia kagumi dan dihormati telah berpulang selama-lamanya. Bulan yang agung. Bulan penuh pengampunan itu menjemput kekasih barunya.
***
Bumi Utara, Penghujung Sya’ban
SUHARSONO A.Q.S
Guru Bahasa Indonesia MAN 1 Lamongan, tinggal di Desa Sambopinggir, Kecamatan Karangbinangun, Lamongan.