MATAHARI belum tampak dan gelap sisa semalam masih bergelantungan di langit bumi. Saat-saat di mana embun dan bintik air menempel pada benda apa saja yang ia sukai. Daun terlihat segar sekali kala itu. Seperti orang yang baru selesai mandi dan keluar dengan gelembung air masih pada tubuh dan handuk di sekitar lehernya.
Rumput pun tak terlihat liar. Ia tampak seperti harapan baru bagi gembala yang membutuhkan untuk ternaknya itu. Hari ini aku abdikan diriku pada perjalanan.
Perjalanan adalah cara seseorang untuk mendapatkan hal baru tanpa melupakan yang lama – yang dilupakan hanyalah tetek-bengek ketidakserasian hidup pada dirinya. Aku akan pergi ke Blitar. Kota di mana Putra Sang Fajar dikebumikan, yang dulu berwasiat untuk dimakamkan di bawah pohon rindang. Dikelilingi pemandangan indah. Di sebelah air sungai yang bening, berbaring di antara perbukitan dan ketenangan: Bung Karno.
Aku akan naik kereta menuju Kota Blitar bersama dua teman seperkuliahanku. Dan kini aku sudah berada di dalam kereta bersama mereka. Kami tidak dapat tiket duduk. Lalu, kami mencari tempat di mana saja bisa dipakai pantat bercumbu dengan dasar kereta.
Gerbong dekat kantin. Iya, hanya di sana terdapat ruang kosong tanpa kursi yang bisa dibuat bercumbu dengan nikmat tanpa tahu siapa pun. Tapi, ini hanya untuk pantat. Duduklah kami pada ruang itu, walau pantat terasa bergetar karena sentuhan roda besi kereta dengan rel yang ada panas-panasnya.
Matahari asyik semburat di langit timur yang sedang menuju barat. Akhirnya, kami sampai juga di Kota Blitar. Di depan stasiun kami telah disambut oleh tukang becak, kereta kuda, ojek, dan sebagainya. Kami memilih kereta kuda dan tidak lama langsung menuju makam Bung Karno.
Di depan makam banyak penjual bunga menjajakan bunganya untuk ditabur di atas pusara nanti. Bunga pun tidak terlewat begitu saja, kami membeli bunga itu tiga kresek. Bunganya indah dan segar-segar.
Cocok sekali untuk diberikan pada Bung Besar, karena kita tahu Bung Besar satu ini suka sesuatu yang indah dan segar. Indah dan segar juga selalu menempel pada wanita-wanita yang pernah mendampinginya.
Kini, aku berada di depan pusara Bung Karno. Makam yang terbilang mewah dan jauh dari wasiat Bung Karno kalau ia wafat. Hanya batu besar bertuliskan “Di sini dimakamkan BUNG KARNO Proklamator Kemerdekaan dan Presiden Pertama Republik Indonesia Penyambung Lidah Rakyat,” yang sesuai dengan wasiatnya.
Makam itu tepat berada di bawah joglo kayu berukir. Kayu yang dipakai untuk joglo itu kayu besar dan tebal. Warna kayunya bersinar-sinar, mungkin mendapat cahaya kebesaran Bung Besar ini. Bagian atap joglo dilengkapi ukiran membingungkan mata kalau dicari titik ujung-pangkalnya.
Kalau mata sedang melihat pada ukiran itu cuma ada dua kemungkinan terjadi – mata terpaku atau mulut terbuka. Di sebelah kanan-kiri makam Bung Karno, ada makam ayah dan ibundanya. Ayah berdarah Jawa, ibu berdarah Bali. Tepat sekali ramalan Joyoboyo yang kuingat betul. Kira-kira begini bunyinya kalau aku ingat, “esok akan ada seorang satria yang membebaskan Indonesia, ayahnya Jawa dan ibunya berdarah Bali,” Bung Karno lah orangnya.
Kepalaku menunduk, mulut berkomat-kamit, tangan menengadah, begitu khidmat aku mendoakan Bung ini. Sampai pada amiin, aku undurkan diriku dari depan makamnya, membuat jarak agar aku bisa mengabadikan makam ini dalam gawaiku.
Aku lihat bagaimana teman-temanku. Di wajahnya tidak ada ajakan untuk pergi dari sini. Tapi, tangannya yang ditempelkan di perutnya itu sudah seperti suara yang dibisikkan tepat di telingaku: perutku juga butuh doa. Doa sebelum makan. Akhirnya aku dan teman-temanku mengundurkan diri dari makam untuk pergi makan.
Setelah mengisi kekosongan pada perut dan sebagainya, aku bersama dua temanku segera ke stasiun untuk kembali pulang. Kali ini kami kebagian tempat duduk, tetapi harus berpisah satu sama lain. Temanku berdua bersebelahan. Aku berada di gerbong lain. Memang tiket yang kami beli hanya ada itu. Mau tidak mau terpisahlah kami. Sebenarnya aku tidak setuju, sejak pagi berangkat sampai sore pulang kami bebarengan tidak pernah terpisah.
Tapi, sekarang lihat! Apa memang kami harus berpisah? Aku tersadar bahwa perpisahan itu selalu hadir dalam hidup kita. Kini aku sendiri. Aku kutuki kesendirianku. Ahhh.. mengapa harus sendiri! Kesal dan sesal menyelimuti hatiku.
Aku duduk sendiri di pojok dekat jendela. Depan dan samping belum ada penghuninya. Mungkin mereka akan ada ketika kereta berhenti di stasiun-stasiun berikutnya. Aku arahkan mataku pada kehidupan di luar jendela, yang terlihat hanya sekelebat benda-benda di luar.
Kecepatan kereta membuat benda di luar tampak hanya seperti garis yang kabur. Sebentar-sebentar kereta menjadi gelap. Sebentar lagi kereta kembali terang. Kereta menjadi gelap kembali. Kereta menjadi terang kembali. Bebarengan pada saat itu, tepat di depanku ada sosok besar, tinggi, dan gelap.
Aku kira itu awal mula gelapnya kereta. Tapi, aku lihat sekelilingku kereta masih terang. Sosok itu masih di depanku. Kehadirannya seperti bayangan hitam besar yang berbentuk manusia. Tiba-tiba sosok itu mendekat ke mataku. Aku gemetar. Keringat di dahiku sudah sebesar biji jagung. Ia lebih mendekat tepat di depan pupil mataku. Tetiba, kereta menjadi gelap. Bayangan itu hilang. Dadaku kembang-kempis. Nafasku berlomba-lomba keluar lebih dulu dari hidung dan mulut.
Keringat-keringat besar pada dahi mengalir di permukaan kulitku. Lega rasanya kalau itu memang benar awal mula kegelapan pada kereta. Lalu, kereta menjadi terang kembali dan bebarengan dengan itu sosok tersebut ada di depanku lagi.
Aku bingung apa yang harus kulakukan. Mulutku tak menghendaki untuk berteriak. Pantatku juga tak mau lepas dari tempat duduknya. Aku cuma bisa mengedipkan-ngedipkan mata dan meyakinkan diriku bahwa itu hanya awal mula kegelapan.
Sosok itu juga tidak mau pergi dari hadapanku. Sosok itu minta diamati betul dari atas hingga bawah. Pada kepalanya, bayangan itu mengenakan songkok. Di telinganya ada kacamata yang bersandar. Bajunya memakai kemeja safari seperti pakaian pejuang. Celananya, celana kain komprang. Sepatunya pantofel berwarna hitam. Aku amati betul sosok itu.
Pengamatan terakhirku, aku menemukan bayangan seperti tongkat komando di tangannya. Berpeci hitam, berkacamata, berbaju kemeja safari, bercelana kain komprang, bertongkat komando di tangannya.
Begitulah gambaran sosok di depanku itu. Aku ingat-ingat betul. Sosok ini tampak seperti seseorang yang kukagumi. Aku kedip-kedipkan mataku sambil mengingatnya. Aku amati lagi dari atas sampai bawah sosok itu. Tepat pada pengamatan paling ujung bawah aku sadar sosok itu mirip seperti Bung Besarku: Bung Karno, yang makamnya baru saja aku ziarahi tadi. Awalnya aku begitu takut akan hadirnya sosok itu. Sekarang aku tersenyum lebar. Sesosok seperti Bung Besar ada di depanku!
Aku beranikan diri ungkapkan kekesalanku, “Bung, mengapa? Mengapa kini aku mesti sendiri saja di sini?”
Sosok itu mendekatiku kembali. Menaruh mulut bayangannya itu tepat di depan wajahku. Mulutnya terbuka dan suara keluar, “Nak, ada saatnya dalam hidupmu engkau ingin sendiri saja bersama angin menceritakan seluruh rahasia, lalu meneteskan air mata.” Seketika kereta menjadi gelap. Entah dari mana, tiba-tiba angin besar mengelus kulit-kulitku. Bayangan itu menghilang. Kereta terang kembali.
Dan aku menyadari air mata mengalir di pipiku. (*)
Sidoarjo-Bojonegoro, 2023
*Faridz Syahputra
Guru tidak punya sekolah. Mengaku sebagai Abdun Ilm. Kadang menulis puisi, cerpen, dan esai. Hidup di antara tiga kota; lahir di Surabaya, besar di Sidoarjo, dan kini tinggal menetap Sukowati, Kapas, Bojonegoro.