Sore mulai temaram. Mentari yang sedari pagi mencurah cahaya menjelang ke peraduan merebah di tilam horison. Menuntun anak manusia diantara silih bergantinya siang malam. Memaknai kembara hidup kehidupan nisbi dalam kelindan cerita berliku. Cobaan dan godaan sebagai keniscayaan coba dipungut hikmah dalam keberkahan.
Akan halnya Citra Wulansari yang masih merenung sendirian di bawah bunga tabebuya di taman kota. Memain-mainkan daun luruh, lalu diremasnya. Dibuang tak jauh dari selonjor kakinya. Sasmita suasana jiwa nan gelisah. Ada desah resah. Hati yang sedang tidak baik-baik saja. Tak seindah tabebuya nan sedang bermekaran. Tersebab bianglala asmara nan sedang disaput gulita.
Setelah lama tercenung. Sekali waktu membuka layar gadget di tangan. Sekedar pelampiasan membuang rasa galau. Kompensasi dari kondisi jiwa nan lara. Relung hati gundah tertawan kebingungan. Bahkan keputusasaan.
Tak sadar jika di sebelahnya ada teman akrab sedang mengamati berbagai tingkah laku anehnya. Kawan sejurusan kampus swasta di kota kecil tempat tinggalnya. Hari ini memang disengaja, usai ada kelas perkuliahan bergegas ke taman kota untuk mengusir rasa sesak dalam dada.
Sitaresmi, nama teman akrab dalam suka duka. Selalu satu sekolahan sejak SD hingga perguruan tinggi. Bahkan satu kelas bersama. Sebangku pula. Kawan yang melebihi saudara kandung. Tempat berbagi dalam banyak kondisi. Saling curhat tatkala problematika tengah menghebat.
Lama keduanya terdiam dan sibuk dengan pergolajan hati masing-masing. Tanpa kata-kata. Hanya desir angin membersamai sore yang terdengar. Diantara derai tawa bocah-bocah saling berkejaran dari kejauhan. Hingga Sitaresmi memecah suasana.
“Pasti tentang Alang, yang sedang kau pikirkan Wulan,” Sitaresmi tiba-tiba membuka pembicaraan.
Wulan terkaget merespon kalimat singkat namun jelas terdengar. Spontan menoleh. Mata indah keduanya bertatapan. Sarat makna yang belum terejawantah. Saling raba nuansa dua jiwa.
“Jangan terlalu hanyut situasi yang ada, Wulan. Itu pendapatku,” sambungnya lirih.
“Tak sesederhana itu mensikapi apa yang sedang kualami, Sita. Menghidupi situasi ini tak semudah merangkai diksi-diksi dalam puisi. Takseindah menghayati bait-bait sajak menawan hati” sahut Wulan penuh ekspresi.
“Aku paham, Wulan. Karena pernah menghadapi. Bahkan lebih kompleks dari situasi yang tengah kau hadapi. Suasana kegelisahan batin berkepanjangan. Realita nan tidak sesuai dengan ekspektasi semula,” timpal Sitaresmi bak dosen sedang mengajar materi psikhologi.
“Lalu, apa yang harus aku lakukan?” ujarnya menanya.
“Menjalaninya dengan tenang. Karena aku yakin situasi tidak menguntungkan ini, cepat atau lambat akan menemukan solusi,” jawab Sita mencoba bijak.
Pembicaraan itu berkutat tentang lelaki sebaya bernama Alang Gumilang. Teman keduanya di kampus. Lelaki yang membawa makna khusus bagi Citra Wulansari. Saling tertawan cinta karena terbiasa. Pepatah jawa memaknainya sebagai: tresna jalaran saka kulina.
Sudah menjadi rahasia bersama. Bahwa jiwa muda selalu melangit bahagia. Dengan menautkan hati saling suka. Meski berintelektual handal, kadang tak masuk logika. Ketertarikan yang tak seindah harapan. Banyak liku-liku nan tak pernah terpikir dan terbayang.
Sebagai sahabat, Sitaresmi ikut terbebani. Meski tak sedang terbelenggu problematika sendiri. Ketika sang karib menghadapi masalah serius, hatinya ikut resah gelisah terus. Tersebab, selama ini dia telah menjadi makcomblang untuk menyatukan keduanya. Meyakinkan sejoli tersebut jika kelak akan menjadi pasangan suami istri yang hidup bahagia.
Perkara hati adalah masalah rasa. Butuh interaksi menyangkut cemectry jiwa. Tidak hanya difasilitasi alat tehnologi secanggih apapun. Tidak sekadar saling lontar bicara via telepon, WhatsApp, atau aplikasi medsos lain yang kini lumrah digunakan muda-mudi nan sedang jatuh hati.
Sudah lebih dari tiga bulan ini Alang tidak pernah ikut kelas perkuliahan. Bahkan tanpa memberikan kabar berita. Tak bicara terbuka sedang sibuk kegiatan apa. Kepergian yang mendadak bak tertelan bumi. Menjadikan dua wanita itu bersedih. Sita begitu kentara berduka. Sangat tertekan jelas menanggung beban psikologi. Karena dialah yang begitu menyemangati.
Bagi Wulan apalagi, karena telah menjatuhkan pilihan pada seorang lelaki bernama Alang Gumilang yang begitu dikagumi. Sama-sama berbakat di bidang bahasa dan sastra. Sejalan dengan jurusan di perkuliahan. Sebuah keputusan serius. Tidak sekedar bersenang-senang. Ini adalah langkah awal. Strategi ikhtiar untuk membangun mahligai rumah tangga untuk menggapai masa depan gemilang.
Tak ada yang sempurna dalam hidup dan kehidupan ini. Perjuangan niscaya menyertai perjuangan. Bagi jalinan asmara dan cita cinta mulia Wulan dan Alang, bak cerita Siti Nurbaya. Orang tua tak merestuinya. Keputusannya menghadirkan Alang dalam lembar hidupnya menghadapi pertentangan. Sungguh sebuah situasi yang amat dilematis.
“Keluarga kita ini lahir dan dibesarkan dari kalangan religius. Sangat menjaga marwah pranata masyarakat. Lingkungan kita berada juga di lingkungan agamis. Kenapa kau suka grudag-grudug dengan teman priamu, Wulan?” Amarah ayahnya, Solikhin, pada suatu malam. Sepulang menghadiri acara pagelaran seni di kampus.
Memang malam itu dikampusnya ada acara pagelaran seni budaya yang diselenggarakan senat. Kebetulan dia didapuk jadi panitia. Karena harus merampungkan urusan kepanitiaan. Terpaksa pulang hingga dini hari. Diantarkan Alang hingga depan rumah. Di depan sang ayah.
” Maaf, ayah. Acara baru selesai tengah malam. Sebagai panitia aku harus merampungkan beberapa urusan,” jawab Wulan setelah melewati pintu depan. Sembari menbungkuk melintasi ayahnya yang lama berdiri di depan pintu.
Belum sempat membersihkan diri dan berganti pakaian. Ayahnya memanggil dengan nada tinggi. Mendudukkannya di ruang keluarga. Wulan bak pesakitan yang sedang diinterogasi polisi.
” Ibu dan ayah sudah tua. Seharusnya kamu lebih banyak di rumah memberi perhatian. Itulah yang senantiasa ayah rindukan dari anak semata wayang sepertimu sejak dulu,” meski pelan pitutur ayahnya nyaring terdengar.
“Iya, ayah. Aku nurut. Maaf jika selama ini abai,” responnya singkat.
“Fokus kuliah. Jangan banyak keluyuran. Jangan melakukan hal-hal yang tak ada gunanya. Kau anak ontang-anting. Semata wayang tempat ayah ibu mengantungkan harapan,” tandas sang ayah.
“Siapa teman lelaki yang sering bersamamu?” tanya penuh selidik.
“Teman kuliah, ayah. Alang namanya,” jawab Wulan masih dengan wajah tertunduk.
“Kok rame-rame, ada apa’?” suara Mauduah, ibunya, tiba-tiba muncul dari dalam kamar.
“Aku cemas, Bu. Akhir akhir ini Wulan sering pulang malam”
“Sudahlah, Pak. Jangan terlalu khawatir. Wulan sudah dewasa. Tahu bagaimana harus menjaga diri”
Wulan hanya terdiam mendengarkan. Sudah paham karakter ayahnya yang temperamental. Ibunya yang lembut dan sarat belas kasih. Dia selalu melihatnya dari sisi yang positif pada keduanya.
Meski kecurigaan dan amarah ayahnya tidak semuanya benar, dia harus tetap berusaha menghormatinya. Kepulangannya ke rumah yang hingga larut. Itupun baru dua tiga kesempatan,tersebab kegiatan sebagai aktivis kampus. Tugas akhir perkuliahan yang segera dirampungkan. Dan satu lagi, bergabung dalam komunitas literasi, yang akhir-akhir ini butuh waktu lebih. Literasi yang sejurus dengan bakat dan hobinya di dunia kesusasteraan. Meski baru menerbitkan sebuah buku sastra, itu adalah produktifitas luar biasa bagi seorang mahasiswa.
Lamunannya terjaga, ketika tangan sita tiba tiba menepuk pundaknya. Ada rekah senyum meski kentara dipaksakan.
“Bersabarlah Wulan, yakinlah setiap masalah pasti ada jalan keluarnya,” kalimat yang sering terlontar sebagai sebuah motivasi.
“Iya, Sita. Hanya yang sangat mengecewakanku. Disaat orang tuaku melarang hubungan dengan Alang. Betapa aku membelanya mati-matian. Setelah kini ayah ibu memberi lampu hijau sebagai tanda restu. Dia kini malah meninggalkanku seenaknya.” Hati Wulan begitu kecewa
“Itulah kenapa aku ikut marah saat ini. Karena sifatnya yang arogan. Alih-alih mensuport untuk menguatkan. Justru malah menjadikan keadaan lebih ruwet dan tidak menentu. Lupa awal-awal dia dan kita memperjuangkannya,” amarah tumpah Sitaresmi menimpali.
“Benar, Sita. Tapi bukankah katamu, aku harus berfikir jernih menghadapi realita yang sedang terjadi. Perjuanganku di hadapan orang tua sudah allout hingga titik ini. Aku berharap jalinan indah tak hancur sia-sia. Aku tak ingin terhempas dari cita-cita mulia yang sudah lama terbangun.” Ada linang air mata Wulan yang tak sengaja menetes bening.
Tak sengaja Sabtu malam saat rehat dari beberapa rutinitas, Wulan mencoba menekan nomor telepon genggam Alang yang sulit dihubungi. Kebetulan setelah beberapa kali dapat sambung. Dari balik telepon suara sayup-sayup terdengar.
“Maafkan aku Wulan,” ucap Alang dari seberang dengan helaan nafas.
“Kau di mana Alang!?” Wulan mendekatkan gadgetnya ke daun telinga. Volume suara terdengar agak meninggi.
“Di suatu tempat. Sedang menenangkan diri untuk sementara waktu,” kalimat singkat Alang namun gamblang.
“Teganya kau!. Pergi tanpa pamit. Apa gerangan yang sedang terjadi!?”
Alang yang ada di seberang telepon lama terdiam. Tak segera merespon kegundahan Wulan.
“Aku tak ingin kau terluka untuk yang kedua kali. Betapa aku menyadari ayahmu tak menghendaki kehadiran lelaki sepertiku. Kedengarannya klise. Tapi ini realita, Wulan”
“Alang?! Bukankan kau tahu, selama ini aku telah memperjuangkanmu di depan orang tua. Dan kini keduanya telah merestui. Kenapa justru kau yang menempuh keputusan gila?!” ungkit Wulan serius.
“Aku mengerti semua itu. Aku tak ingin mengecewakan orang tua yang kau hormati. Aku takut kau terluka tertusuk kerontang jiwaku. Kau rembulan. Jauhi padang ilalang,” responnya puitis.
“Kau egois!!” Wulan menutup ponselnya. Mendadak terisak. Nafasnya tersengal. Rembulan purnama yang baru muncul dari balik jendela tak menyinarkan bahagia. Mendung di hati menyelimuti angkasa jiwa.
Wulan beranjak dari tempat tidur. Melangkah menuju meja belajar.Mengambil pena mempuisikan semuanya di atas kertas. Berkali tetes air matanya memburam goresan tinta.
Lebih dari tiga purnama. Wulan tak bersemuka dengan kekasih. Semakin lama Alang menjauh menghindari, terasa semakin tertusuk jiwanya. Goresan luka-luka begitu perih terasa.
Hingga panggung sastra di kampusnya dihelat. Kondisi hubungan asmra keduanya belum membaik. Sementara Wulan harus mempersiapkan acara. Sekaligus sebagai pegiat sastra yang juga harus berpartisipasi membacakan puisi di malam sastra kampus. Sebuah perhelatan monumental. Bangkitnya kembali sastra kampus yang selama ini diopinikan mati suri.
Malam sastra kampus terealisasi tanpa kendala berarti. Karena persiapan sudah lama dikondisikan. Panggung cukup megah. Antusiasme sastrawan lokal dan mahasiswa pecinta sastra sudah memenuhi area kampus. Hati Citra Wulansari yang tercabik berdarah-darah tak menyurutkan untuk naik panggung.
Rembulan tertusuk ilalang//candrakirana merah//menyembul gairah//luka berdarah darah//tertusuk amarah//candrakirana melangit//membawa sajak pait//dengan selaksa jerit// meratapi cintanya nan sakit//candrakirana nan terang//di langit sarat gemintang//sayang seribu sayang//meradang tertusuk ilalang.
Entah karena suasana jiwa nan resah gelisah. Pembacaan puisi malam itu begitu khusuk dijiwai. Tak terasa buliran air mata menetes satu demi satu lalu menderas.
Penikmat di depan panggung begitu terkesima. Menikmati diksi demi diksi menyentuh nurani. Tidak sedikit nan larut terbawa suasana.
Alang Gumilang diam-diam malam itu hadir di belakang. Berkali-kali mengusap air matanya nan hendak jatuh. Saat penonton berdiri memberi tepuk tangan. Tiba-tiba dia berlari menerabas para penonton. Bergegas naik panggung. Mendekati Wulan saat masih terpaku. Ketika hendak meraih tangan dan mendekap. Wulan spontan bereaksi. Segera berlari. Bersamaan dengan lampu panggung dan ruangan padam. Penonton semburat dan suara jeritan di tengah gulita terdengar lara.
Tamat
*) Nono Warnono, Pegiat bahasa, sastra dan budaya di Sanggar Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB)
Buku karyanya yang baru terbit hampir bersamaan, berupa Kumpulan Geguritan “Dalan Enggokan” Kumpulan Crita Cekak “Lir Lesung Jumengglung”, dan Antologi Gurit “Bedhug”.