DIA sering seperti ini. Sudah hampir satu jam pesan WhatsApp-ku belum dibacanya. Aku tiduran di kasur lantai ruang tengah dan lebih sering memandangi layar smartphone. Menunggu pesanku dibalas, daripada memandangi layar TV di depanku sudah menyala dari tadi.
Jarum jam menempel di dinding di atas TV menunjukkan pukul empat sore. Terdengar pintu dapur berderit-Bapak pulang dari sawah. Dia pulang lebih siang, tidak banyak perlu dikerjakan di sawah karena padinya sudah berumur dua bulan. Iya, dua bulan, aku ingat betul. Bapak merendam benih padinya dua bulan lalu saat pesan WhatsApp pertamaku dibalasnya—benih-benih padi itu berkecambah bersama berkecambahnya rasa hati ini.
‘’Sudah pulang, Bapak?” tanyaku ketika Bapak menyusulku di ruang tengah.
“Iya. Bapak tadi hanya mengedari sawah, memastikan kawat listrik masih terpasang dengan baik dan menambal plastik berlubang,” jawabnya. “Ada saja tikus menerobos, padahal sudah dipasang dua pagar. Pagar plastik dan kawat listrik.”
Sebenarnya bukan hanya dua pagar, tetapi tiga. Pagar ketiga adalah doa. Bapak pernah bilang, ketika ia mengedari sawahnya dengan berjalan searah jarum jam di pematang, Bapak selalu menggumamkan doa-doa supaya padi ditanamnya selamat sampai panen nanti.
Kawat listrik mengurangi serangan tikus. Banyak tikus menempel dan mati, meski ada juga satu dua berhasil menorobos. Sayangnya, bukan hanya tikus menempel, tahun lalu sepasang suami istri menempel kaku di kawat listrik di sawahnya sendiri. Mereka lupa mencabut steker sebelum berangkat ke sawah. Tahun-tahun sebelumnya juga sudah ada nyawa manusia melayang, tetapi orang-orang masih saja memagari sawah-sawah dengan kawat listrik.
‘’Kalau kita berhati-hati, kita tidak akan mati di kawat listrik. Tetapi kalau kita tidak memasang kawat listrik, kita akan mati kelaparan,” itu asas dipegang teguh oleh Bapak.
Orang-orang memegang teguh asas itu sehingga tulisan Dilarang memasang kawat listrik di sawah yang dipasang oleh Pak RT, hanya menjadi hiasan di gang-gang masuk ke sawah.
Bapak mengambil remote TV tergeletak di sampingku dan menarik kursi plastik di belakangnya. Duduk di belakangku. Aku masih melihat layar smartphone menunggu pesanku dibalas sambil sesekali melihat layar TV. Bapak memindah-mindah saluran dan berhenti di acara berita kriminal.
‘’Kejahatan dilakukan orang-orang zaman sekarang di luar nalar. Setiap hari ada saja kejahatan terjadi,” kata Bapak mengomentari berita ditontonnya.
Mungkin Bapak lupa kalau membunuh saudara kandung sudah dilakukan orang di zaman Nabi Adam. Dulu belum ada TV dan HP sehingga kejahatan dilakukan orang-orang di tempat-tempat jauh sana tidak sampai ke telinga setiap hari.
‘’Masa ada Bapak yang bejatnya seperti itu kepada anak gadisnya?” lanjutnya. Aku melihat ke layar TV, di sana ada bapak-bapak kepalanya menunduk dengan borgol di tangannya.
Aku tengkurap di kasur lantai. Pipiku melekat di bantal sambil memandangi pesan WhatsApp. Dua centang abu-abu di pojok kanan bawah kotak pesanku itu berubah menjadi biru—pesanku sudah dibacanya, namun belum ada tanda-tanda dia membalasnya.
Bapak masih duduk di kursi plastik menyimak berita kriminalnya. Mataku tidak berkedip menatap layar smartphone, sama sekali tidak melihat layar TV, menunggu dia membalas pesanku. Setelah tiga menit, dia sedang mengetik. Tunggu aku di tempat terakhir kita ketemu. Ada sesuatu ingin kubicarakan, isi pesannya.
Aku bergegas bangun meninggalkan kasur lantai. TV masih menayangkan berita-berita kriminal dan raut muka Bapak masih menunjukkan bahwa nalarnya tidak bisa menjangkau kejahatan-kejahatan dilakukan orang-orang zaman sekarang di dalam berita itu.
Jarum jam di dinding di atas TV menunjukkan pukul empat dua puluh menit. Aku gas motorku menuju jembatan tempat kami bertemu lima hari lalu. Jembatan melintang di atas sungai kecil yang memisahkan desa kami.
Aku berhenti setelah motor melewati jembatan—masuk ke wilayah desanya. Dia belum datang. Aku duduk di atas motor ku parkir di utara jembatan, di sisi jalan sebelah barat. Aku melihat terus ke arah utara, ke pertigaan berjarak tiga ratus meter dari jembatan ini. Berharap dia muncul dari sana. Sesekali kulihat layar smartphone sejak dari rumah ada di genggaman tangan kiriku—belum ada pesan lagi dari dia. Barangkali dia sengaja tidak mengirim pesan dan langsung datang menemuiku di sini.
Aku turun dari motor, berjalan ke jembatan dan berdiri bersandar di birai sebelah barat memunggungi matahari. Cat hijau dan merah jembatan ini tampak mengkilat memantulkan cahaya matahari sore. Belum ada sedikit pun bagian dikusamkan matahari maupun air hujan. Permukaan besi menjulur di antara birai utara dan selatan jembatan juga masih segar, tampak berkilauan abu-abu keperakan. Tidak ada sedikitpun karat yang menempel.
Aku melihat jam analog di sudut kanan atas layar smartphone sudah lima belas menit aku menunggu di sini. Dia belum juga datang. Kubaca lagi pesannya untuk memastikan. Benar, dia ingin bertemu dan memintaku menunggunya di jembatan ini, ada sesuatu ingin dia katakan.
Barangkali dia masih mengerjakan pekerjaan rumahnya: menyiapkan makan malam untuk bapaknya, atau mungkin menyapu, atau mungkin menyetrika baju. Atau mungkin masih mandi. Ah, aku tidak tahu apa sedang dia kerjakan sekarang. Sejak ibunya meninggal, semua pekerjaan dulu dikerjakan ibunya dia mengerjakannya. Aku yakin, setelah menuntaskan pekerjaannya, dia akan segera menyusulku ke sini.
Sore ini sepi. Tidak banyak orang melintas meski jembatan ini menyambungkan jalan kecamatan menghubungkan desa. Seperti halnya jembatan ini, jalan beton masih tampak putih bersih, hampir belum ada tanah bekas roda menempel di atasnya. Juga belum ada retakan sama sekali. Di pinggir-pinggir jalan masih ada gundukan-gundukan balok-balok paving dari sisa-sisa bongkaran jalan beberapa waktu lalu.
Di sawah yang hijau menghampar di sebelah timur dan barat jalan beton, tampak hanya empat orang. Berjalan searah jarum jam di pematang mengedari padi-padi di sawah. Pasti mereka menggumamkan doa-doa, memasang pagar ketiga.
Sepertinya mereka memastikan plastik pagar tikus tidak ada berlubang dan memastikan kawat listrik masih bisa berfungsi dengan baik. Bisa membuat tikus-tikus akan memotong-motong batang-batang padi mereka nanti malam, menempel dan mati kaku. Yang dilakukan keempat orang itu sudah dilakukan Bapak asar tadi.
Pegal berdiri, aku melompat duduk di atas birai dengan kaki menggantung. Sambil membentur-benturkan tumit ke birai. Nerkali-kali kulihat arah utara: pandanganku hanya menangkap anak kecil bermain sepeda di pinggir jalan. Dan bangkai tikus gepeng dan kering menempel di jalan beton—belum ada tanda-tanda dia datang.
Kukirim pesan ke dia: pesanku tidak dibaca. Rumahnya hanya setengah kilometer di sebelah timur pertigaan itu, tetapi aku tidak mungkin ke sana. Dia selalu melarangku datang ke rumahnya. Dia hanya tinggal dengan bapaknya. Dan bapaknya tidak suka ada laki-laki ingin menemui anaknya. Katanya, sikap bapaknya berubah total, bapaknya seperti orang lain. Dulu ketika ibunya masih hidup, perlakuan bapaknya tidak seperti itu kepadanya. Sekarang bapaknya sangat membatasinya keluar rumah. Juga membatasinya bertemu dengan teman-temannya, apalagi bertemu dengan teman laki-lakinya.
Kuputuskan untuk menunggunya sampai datang. Namun, ada sesuatu ganjil merayap pelan masuk ke sela-sela kepalaku yang membuat nalarku tidak kuasa menjangkaunya. Kulihat pesanku belum juga dibacanya. Kuputuskan menelepon: teleponku juga tidak diangkatnya.
Matahari sore sudah semakin turun dan semakin jingga; empat orang mengitari sawah tadi sudah tidak tampak lagi. Anak kecil bermain sepeda di pinggir jalan tadi ditarik bapaknya masuk ke dalam rumah. Anak itu mencoba sekuat tenaga mengayuh pedalnya, namun tenaga bapaknya membuat sepeda kecil itu berjalan mundur dan mereka semua masuk ke dalam rumah.
Bangkai tikus gepeng dan kering itu masih menempel di jalan beton, aku juga masih menempel di birai jembatan. Smartphone bergetar: dia menelepon: kuangkat teleponnya: terdengar dia terisak.
Dia minta maaf kemudian berkata: ‘’Kita bertemu besok saja, tunggu di jembatan itu lagi, ada sesuatu yang ingin kukatakan.’’ (*)
*Suwito Adi Prasetyo
Penulis cerpen asal Kanor, Bojonegoro. Setiap hari berdinas sebagai Kepala SDN Sumuragung I Kecamatan Baureno