31 C
Bojonegoro
Monday, March 20, 2023

Geremengan Pakde Katno

- Advertisement -

“SANGAT merendahkan martabat, tidak mengindahkan harga diri. Bagaimana bisa seorang guru hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa ketika diperlakukan muridnya semacam itu?” Pakde Katno bersungut-sungut geram.

Gemeretak giginya menandakan ia sangat emosional ketika Kang Sokran menunjukkan padanya sebuah video melalui handphone, seorang murid dengan begitu pongahnya memperlakukan gurunya di kelas dengan sangat tak beradab.

“Jika saya gurunya, sudah saya lumat habis itu anak. Memang dianggapnya kelas itu terminal yang bisa berbuat seenak udelnya. Terminal saja masih memiliki aturan bagaimana manusia memperlakukan manusia lain. Itu kelas, di sekolah, tempat di mana akhlak dibiasakan dan etika dibelajarkan.” suara Pakde makin meninggi.

“Guru sekarang serba salah, Pakde. Sangat dilematis. Jika ia melakukan seperti yang pakde katakan, boleh jadi ceritanya akan berbeda,” Kang Sokran duduk di hadapannya menyela.

‘’Berbeda bagaimana?”

- Advertisement -

‘’Kalau Pak Guru bertindak tegas, tidak usah jauh-jauh menamparnya, sekadar menjewer telinga saja umpamanya, orang tuanya nanti tak terima dan melaporkannya ke polisi. Pak Guru akan berhadapan dengan hukum, dengan Komisi Perlindungan Anak, dengan HAM. Ujung-ujungnya ia masuk penjara. Lantas, bagaimana nasib anak istrinya jika Pak Guru mendekam di balik jeruji besi?’’.

‘’Halah, HAM lagi HAM lagi, lagi-lagi HAM.” tukas pakde sengit, intonasinya menirukan salah seorang komedian di televisi.

‘’Apa yang diperbuat HAM jika anak itu kelak jadi brandal. Tidak tahu sopan santun. Tidak mengerti bagaimana mestinya bersikap kepada sesama manusia.”

Kang Sokran hanya terdiam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapi pertanyaan Pakde Katno. Ia pikir, benar juga yang dikatakan lelaki paro baya itu. Selama ini, selalu HAM yang dijadikan alasan jika ada persoalan anak di sekolah. Apalagi, orang tua kadang tidak selalu bisa berbuat bagaimana mestinya menjadi orang tua. Tidak seperti orang tuanya dulu, ketika ia masih anak-anak.

Kang Sokran masih ingat betul, dulu pernah sekali ia madul pada bapaknya ketika Pak Santriman, gurunya bertindak kasar padanya. Sebabnya sepele, hanya karena bergurau saat pelajaran berlangsung, sebuah penghapus kayu melayang dan menyisakan benjol di keningnya.

Kang Sokran menangis pulang dan mengadukan pada orang tuanya. Ia berharap bapaknya akan melakukan tindakan pada gurunya itu. Tapi, jangankan melabrak, justru ia sendiri yang kena damprat bapak habis-habisan. Sejak saat itu, Kang Sokran tidak berani bercerita jika mendapat hukuman di sekolah.

Sejurus kemudian, suasana tampak hening. Pakde Katno menyerahkan kembali HP kepada Kang Sokran dengan menghela napas dalam-dalam. Kang Sokran menerimanya tanpa suara. Di meja, berjejer cangkir kopi dan beberapa bungkus kretek.

Pakde Katno lantas mengambil cangkir, menyeruput isi di dalamnya beberapa teguk. Ketika sebatang kretek terselip di bibirnya dan dihisap dalam-dalam, dengan segera asap tembakau itu berkeliaran memenuhi udara.

Sebenarnya video yang diputar Kang Sokran itu sudah lama terjadi. Tiba-tiba saja muncul di HP ketika ia membuka YouTube. Pakde Katno yang duduk di sebelahnya tidak urung ikut menunjukkan reaksinya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, kerap terjadi peristiwa yang tidak mengenakkan menimpa guru ketika sedang menjalankan tugas mendidik siswanya.

‘’Guru sekarang memang berbeda,” Pakde Katno kembali bersuara sembari menarik napas dalam-dalam.

Kali ini nada suaranya datar. Tidak lagi meledak-ledak, ‘’Kejadian di video itu jelas menggambarkan betapa Pak Guru itu sama sekali tak memiliki wibawa di hadapan murid-muridnya. Bagaimana bisa ia berada di kelas, sedang murid tak menghargai keberadaannya.’’

‘’Tak jelas kejadian di video itu, Pakde. Apa Pak Guru itu sedang mengajar, atau kebetulan hanya masuk kelas saat mendengar kegaduhan di kelas karena kelas kosong.’’ sanggah Kang Sokran.

‘’Tak jelas bagaimana. Jelas-jelas Pak Guru itu berada di dalam kelas, dan anak-anak berkeliaran bergurau seperti tak tahu aturan. Bahkan terang-terangan salah seorang di antara mereka merokok. Lantas, memperlakukan Pak Guru seperti anak kemarin sore, bertingkah seakan mau menonjok muka gurunya, dan siswa lainnya bersorak sorai seolah-olah itu adalah tontonan badut atau komedi bedes. Di mana wibawa guru ketika itu?”

Kang Sokran terdiam. Ia duduk tepekur mendengarkan Pakde Katno yang mulai menyerocos. ‘’Mungkin betul katamu. Pak guru serba salah dalam kondisi seperti itu. Berada pada situasi dilematis antara bertindak atau tidak bertindak menghadapi perilaku anak yang demikian. Atau, pak guru memang terlalu sabar dan tak mau mengambil resiko di tengah pergeseran cara pandang orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Tapi, membiarkan anak berbuat sedemikian pongah dan tak beretika bukanlah sikap yang arif bagi seorang guru.”

‘’Lantas menurut Pakde?”

‘’Suatu saat, anak-anak perlu dihadapkan dengan kekerasan, agar ia mengerti keteguhan dan ketegasan. Agar ia tahu martabat dan harga diri.’’

‘’HAM Pakde, HAM!’’

‘’Yang tidak boleh itu kekejaman. Kekerasan tidak selamanya buruk, asal diberikan sesuai dengan porsinya. Kalau saya, lebih memilih dipenjara daripada membiarkan anak-anak yang menjadi tanggung jawab saya tidak beretika. Persetan dengan HAM. Kekerasan dibutuhkan agar anak bermental baja dan tidak cengeng.’’

‘’Kalau segala bentuk kekerasan itu buruk dan dilarang, mengapa Kanjeng Nabi menyuruh memukul anak, ketika si anak tidak bersedia menjalankan salat pada usia tertentu? Kekerasan itu, sekali lagi tak sama dengan penyiksaan atau penindasan.’’

Lelah berkata, Pakde Katno lantas menengadah. Sorot matanya menembus jauh ke ruang hampa. Pikirannya menerawang ke masa silam, memendarkan wajah gurunya di ruang kesadarannya secara tiba-tiba. Ia ingat betul dengan tabiat gurunya waktu itu. Guru yang begitu dihormati dan disegani olehnya, juga kawan-kawannya. Perawakan gurunya memang kecil, seolah-olah tak berdaya, tapi aura kewibawaannya demikian kentara.

Kala itu, jangankan memperlakukan gurunya seperti kejadian di video itu, bahkan mendengar telapak kakinya saja, ia dan teman-temannya sudah tertata sikapnya. Ia tidak ditakuti, tapi anak-anak segan terhadapnya. Ia mengajar, bahkan sebelum mengajar.

‘’Itulah wibawa. Itulah perlunya olah batiniah,’’ Pakde Katno lantas membatin.

‘’Pak guru hari ini memang harus banyak belajar. Tidak cukup hanya mengasah kemampuan intelektualitas, tapi sisi-sisi ruhaniah harus disentuh dengan laku istikamah agar energi itu memancar dari dirinya. Berpendar menerangi jalan anak didiknya.’’

‘’Sayangnya, pak guru sekarang terlalu sibuk. Lebih tepatnya disibukkan dengan hal remeh-temeh, dengan kertas-kertas berserakan. Dengan laporan-laporan yang menyita waktu dan perhatian. Dengan rumbai-rumbai tunjangan begitu menggoda. Entah, bagaimana nasib pendidikan ini ke depan.’’

Langit mendung. Anak-anak berlarian pulang. Kesiur angin membuat bulu tubuh merinding. Pakde Katno tergeragap. Suara dengkuran Kang Sokran di depannya membuat pikirannya buyar seketika. Gerimis perlahan turun. Kopi tinggal ampas. (*)

 

 

 

*Em. Syuhada’
Pendidik di SDN Cangkring Bluluk Lamongan. Sehari-harinya tinggal di Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Alumni PP Roudlotun Nasyiin Beratkulon Kemlagi Mojokerto.

“SANGAT merendahkan martabat, tidak mengindahkan harga diri. Bagaimana bisa seorang guru hanya diam saja dan tidak melakukan apa-apa ketika diperlakukan muridnya semacam itu?” Pakde Katno bersungut-sungut geram.

Gemeretak giginya menandakan ia sangat emosional ketika Kang Sokran menunjukkan padanya sebuah video melalui handphone, seorang murid dengan begitu pongahnya memperlakukan gurunya di kelas dengan sangat tak beradab.

“Jika saya gurunya, sudah saya lumat habis itu anak. Memang dianggapnya kelas itu terminal yang bisa berbuat seenak udelnya. Terminal saja masih memiliki aturan bagaimana manusia memperlakukan manusia lain. Itu kelas, di sekolah, tempat di mana akhlak dibiasakan dan etika dibelajarkan.” suara Pakde makin meninggi.

“Guru sekarang serba salah, Pakde. Sangat dilematis. Jika ia melakukan seperti yang pakde katakan, boleh jadi ceritanya akan berbeda,” Kang Sokran duduk di hadapannya menyela.

‘’Berbeda bagaimana?”

- Advertisement -

‘’Kalau Pak Guru bertindak tegas, tidak usah jauh-jauh menamparnya, sekadar menjewer telinga saja umpamanya, orang tuanya nanti tak terima dan melaporkannya ke polisi. Pak Guru akan berhadapan dengan hukum, dengan Komisi Perlindungan Anak, dengan HAM. Ujung-ujungnya ia masuk penjara. Lantas, bagaimana nasib anak istrinya jika Pak Guru mendekam di balik jeruji besi?’’.

‘’Halah, HAM lagi HAM lagi, lagi-lagi HAM.” tukas pakde sengit, intonasinya menirukan salah seorang komedian di televisi.

‘’Apa yang diperbuat HAM jika anak itu kelak jadi brandal. Tidak tahu sopan santun. Tidak mengerti bagaimana mestinya bersikap kepada sesama manusia.”

Kang Sokran hanya terdiam. Tak mengerti bagaimana harus menanggapi pertanyaan Pakde Katno. Ia pikir, benar juga yang dikatakan lelaki paro baya itu. Selama ini, selalu HAM yang dijadikan alasan jika ada persoalan anak di sekolah. Apalagi, orang tua kadang tidak selalu bisa berbuat bagaimana mestinya menjadi orang tua. Tidak seperti orang tuanya dulu, ketika ia masih anak-anak.

Kang Sokran masih ingat betul, dulu pernah sekali ia madul pada bapaknya ketika Pak Santriman, gurunya bertindak kasar padanya. Sebabnya sepele, hanya karena bergurau saat pelajaran berlangsung, sebuah penghapus kayu melayang dan menyisakan benjol di keningnya.

Kang Sokran menangis pulang dan mengadukan pada orang tuanya. Ia berharap bapaknya akan melakukan tindakan pada gurunya itu. Tapi, jangankan melabrak, justru ia sendiri yang kena damprat bapak habis-habisan. Sejak saat itu, Kang Sokran tidak berani bercerita jika mendapat hukuman di sekolah.

Sejurus kemudian, suasana tampak hening. Pakde Katno menyerahkan kembali HP kepada Kang Sokran dengan menghela napas dalam-dalam. Kang Sokran menerimanya tanpa suara. Di meja, berjejer cangkir kopi dan beberapa bungkus kretek.

Pakde Katno lantas mengambil cangkir, menyeruput isi di dalamnya beberapa teguk. Ketika sebatang kretek terselip di bibirnya dan dihisap dalam-dalam, dengan segera asap tembakau itu berkeliaran memenuhi udara.

Sebenarnya video yang diputar Kang Sokran itu sudah lama terjadi. Tiba-tiba saja muncul di HP ketika ia membuka YouTube. Pakde Katno yang duduk di sebelahnya tidak urung ikut menunjukkan reaksinya. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, kerap terjadi peristiwa yang tidak mengenakkan menimpa guru ketika sedang menjalankan tugas mendidik siswanya.

‘’Guru sekarang memang berbeda,” Pakde Katno kembali bersuara sembari menarik napas dalam-dalam.

Kali ini nada suaranya datar. Tidak lagi meledak-ledak, ‘’Kejadian di video itu jelas menggambarkan betapa Pak Guru itu sama sekali tak memiliki wibawa di hadapan murid-muridnya. Bagaimana bisa ia berada di kelas, sedang murid tak menghargai keberadaannya.’’

‘’Tak jelas kejadian di video itu, Pakde. Apa Pak Guru itu sedang mengajar, atau kebetulan hanya masuk kelas saat mendengar kegaduhan di kelas karena kelas kosong.’’ sanggah Kang Sokran.

‘’Tak jelas bagaimana. Jelas-jelas Pak Guru itu berada di dalam kelas, dan anak-anak berkeliaran bergurau seperti tak tahu aturan. Bahkan terang-terangan salah seorang di antara mereka merokok. Lantas, memperlakukan Pak Guru seperti anak kemarin sore, bertingkah seakan mau menonjok muka gurunya, dan siswa lainnya bersorak sorai seolah-olah itu adalah tontonan badut atau komedi bedes. Di mana wibawa guru ketika itu?”

Kang Sokran terdiam. Ia duduk tepekur mendengarkan Pakde Katno yang mulai menyerocos. ‘’Mungkin betul katamu. Pak guru serba salah dalam kondisi seperti itu. Berada pada situasi dilematis antara bertindak atau tidak bertindak menghadapi perilaku anak yang demikian. Atau, pak guru memang terlalu sabar dan tak mau mengambil resiko di tengah pergeseran cara pandang orang tua terhadap pendidikan anak-anaknya. Tapi, membiarkan anak berbuat sedemikian pongah dan tak beretika bukanlah sikap yang arif bagi seorang guru.”

‘’Lantas menurut Pakde?”

‘’Suatu saat, anak-anak perlu dihadapkan dengan kekerasan, agar ia mengerti keteguhan dan ketegasan. Agar ia tahu martabat dan harga diri.’’

‘’HAM Pakde, HAM!’’

‘’Yang tidak boleh itu kekejaman. Kekerasan tidak selamanya buruk, asal diberikan sesuai dengan porsinya. Kalau saya, lebih memilih dipenjara daripada membiarkan anak-anak yang menjadi tanggung jawab saya tidak beretika. Persetan dengan HAM. Kekerasan dibutuhkan agar anak bermental baja dan tidak cengeng.’’

‘’Kalau segala bentuk kekerasan itu buruk dan dilarang, mengapa Kanjeng Nabi menyuruh memukul anak, ketika si anak tidak bersedia menjalankan salat pada usia tertentu? Kekerasan itu, sekali lagi tak sama dengan penyiksaan atau penindasan.’’

Lelah berkata, Pakde Katno lantas menengadah. Sorot matanya menembus jauh ke ruang hampa. Pikirannya menerawang ke masa silam, memendarkan wajah gurunya di ruang kesadarannya secara tiba-tiba. Ia ingat betul dengan tabiat gurunya waktu itu. Guru yang begitu dihormati dan disegani olehnya, juga kawan-kawannya. Perawakan gurunya memang kecil, seolah-olah tak berdaya, tapi aura kewibawaannya demikian kentara.

Kala itu, jangankan memperlakukan gurunya seperti kejadian di video itu, bahkan mendengar telapak kakinya saja, ia dan teman-temannya sudah tertata sikapnya. Ia tidak ditakuti, tapi anak-anak segan terhadapnya. Ia mengajar, bahkan sebelum mengajar.

‘’Itulah wibawa. Itulah perlunya olah batiniah,’’ Pakde Katno lantas membatin.

‘’Pak guru hari ini memang harus banyak belajar. Tidak cukup hanya mengasah kemampuan intelektualitas, tapi sisi-sisi ruhaniah harus disentuh dengan laku istikamah agar energi itu memancar dari dirinya. Berpendar menerangi jalan anak didiknya.’’

‘’Sayangnya, pak guru sekarang terlalu sibuk. Lebih tepatnya disibukkan dengan hal remeh-temeh, dengan kertas-kertas berserakan. Dengan laporan-laporan yang menyita waktu dan perhatian. Dengan rumbai-rumbai tunjangan begitu menggoda. Entah, bagaimana nasib pendidikan ini ke depan.’’

Langit mendung. Anak-anak berlarian pulang. Kesiur angin membuat bulu tubuh merinding. Pakde Katno tergeragap. Suara dengkuran Kang Sokran di depannya membuat pikirannya buyar seketika. Gerimis perlahan turun. Kopi tinggal ampas. (*)

 

 

 

*Em. Syuhada’
Pendidik di SDN Cangkring Bluluk Lamongan. Sehari-harinya tinggal di Sendangrejo, Kecamatan Ngimbang, Lamongan. Alumni PP Roudlotun Nasyiin Beratkulon Kemlagi Mojokerto.

Artikel Terkait

Menunggu

Merajut Mimpi di Makau

Manusia Silver

BUNG!

Most Read

Artikel Terbaru

Suka Dengerin Musik Rock

Harga Kebutuhan Pokok Masih Stabil


/