31 C
Bojonegoro
Thursday, March 23, 2023

Merajut Mimpi di Makau

- Advertisement -

MENJELANG sore, feri yang kami tumpangi merapat di Tapia Harbor, Makau. Cuaca cerah menyambut. Angin laut berhembus kencang. Kali ini, aku ke Makau bersama Ali dan Hamim. Kami menyeberang dari Hongkong.

Saat turun di dermaga kulihat papan penunjuk ditulis dalam empat bahasa, Inggris (Arrivals), Portugis (Chegadas), dan tiga lainnya aku tidak tahu apakah tulisan China, Kanji atau sejenis itu. Antrean tidak terlalu padat. Prosesnya juga sangat cepat.

Makau, pulau kecil terletak di pantai selatan China daratan. Pada 1557, Portugis menancapkan kekuasaannya di pulau kecil ini. Makau dijadikan sebagai koloni seberang lautan. Baru pada 1999, Portugis mengembalikan Makau ke Pemerintah China. Hingga kini, warisan kolonialisme masih kental. Mulai dari bahasa, tata kota hingga arsitektur bangunan sangat terlihat pengaruh Portugis.

Makau dijuluki “Las Vegas Asia”. Merujuk pada Kota Las Vegas, pusat judi dan kota terpadat di negara bagian Nevada, Amerika Serikat. Julukan itu tidak salah. Beragam kasino besar dan terkenal di seluruh dunia dapat ditemukan di Makau. Tapia Harbor jaraknya sangat dekat dengan pusat kasino terkenal seperti the Venetian Macao, Casino Lisboa, the Plaza Macao dan sebagainya.

Kasino-kasino tersebut menjadi tujuan para penggila judi dari seluruh dunia. Dari jumlah pengunjung, tampaknya jauh lebih ramai daripada pusat judi lainnya di Asia seperti Sky Casino Genting Highland di Pahang, Malaysia.

- Advertisement -

The Venetian merupakan salah satu casino dan resort hotel terbesar. Sesuai namanya, tata letak, ornamen dan segala pernik-perniknya dibuat ala Kota Venezia, Italia. Atapnya didesain mirip langit, membuat kita seakan di alam terbuka. Tak ketinggalan pula, terdapat sungai buatan dan beragam perahu “gondola” yang dapat dinikmati mengelilingi penjuru gedung. Para gondolier dengan kostum dan topinya yang khas berdiri di atas gondolanya.

***

Awalnya, kami tidak punya rencana ke Makau. Agenda utama di Hongkong. Namun, karena urusan di Hongkong selesai lebih awal, Ali mengajak menyeberang ke kota judi ini. ‘’Tur, kan jaraknya cuma sejengkal doang. Tinggal nyebrang aja. Ayolah mainkan lah, bro!” bujuknya. Hamim pun mengamini ajakan itu. Akhirnya, aku pun juga sepakat.

Kami bertiga berteman cukup lama hingga berbisnis bersama. Di antara kami bertiga, Hamim paling tua. Mungkin karena itulah, dia sering dijadikan rujukan. Hamim juga suka memberikan nasihat, motivasi dan semangat. Rambut perak dan kerut di wajahnya seolah semakin menegaskan kematangan dalam hidup. Usiaku di antara Hamim dan Ali. Mereka memanggilku “Tur”, dari nama Guntur.

Ali yang paling muda dan selalu ceria. Badannya tidak terlalu tinggi. Kulit agak kehitaman, rambut keriting berjambul. Wajah tirus dengan bola mata yang besar. Termasuk kategori tidak ganteng. Namun, penampilannya selalu rapi. Ali juga sangat “pede” dan selalu mengklaim kalau dirinya sangat menarik di mata para perempuan.

Ia sering mempersonifikasikan diri selayaknya Ali Topan. Tokoh utama film Ali Topan, Anak Jalanan. Sangat terkenal di era 1970-an. Dibintangi oleh Yati Octavia dan Junaidi Salat. Referensi Ali memang “jadul”. Namun, film itu sangat melegenda. Hingga diproduksi beberapa kali, termasuk dalam bentuk sinetron pada 2016. Bercerita tentang anak muda bernama Ali Topan yang bandel, tumbuh di keluarga tidak harmonis. Tapi, dikenal cerdas di sekolah, dijadikan panutan dan ganteng sehingga digandrungi banyak perempuan.

Wulan salah satu teman dekatnya, sering me-bully dan menjulukinya sebagai “Ali Sopan, Playboy Cap Mangga Dua”. Memang banyak perempuan yang merasa nyaman sama Ali. Sikap dan perilakunya yang jenaka membuat mudah diterima teman-teman perempuan. Termasuk sering diminta mengantar  kesana-kemari.

Ali sangat baik, loyal dalam pertemanan dan mudah menolong. Hanya satu aspek bikin teman-temannya tidak kuat jika mesti mengaku sebagai temannya, yaitu rasa percaya dirinya “overdosis” jika berhadapan dengan perempuan.

***

Setibanya di Makau, kami check in di hotel di sekitar pusat kota. Mencari room rate sesuai isi dompet. Meski go-show, masih banyak kamar tersedia. Setelah itu, kami bergegas ke Venetian. Gedungnya sangat megah. Ada pusat perbelanjaan, hotel dan tentunya arena judi. Tidak ada pemeriksaan petugas saat masuk gedung. Pemeriksaan identitas hanya diterapkan sebelum memasuki arena judi untuk memastikan usianya 21 tahun ke atas.

Aku dan Hamim pergi ke mal, sedangkan Ali masuk ke arena perjudian. “Mau lihat-lihat aja, sembari cari pengalaman baru, bro” katanya sambil tersenyum lebar.

“Hati-hati bro, jangan silap mata,” jawabku sembari ketawa melihat Ali memakai jas lengkap.

Lehernya dihiasi dasi kupu-kupu. Biar mirip Chou Yun Fat, katanya. Aktor Hongkong yang memerankan Kho Cun, tokoh utama di film God of Gamblers. Tak lupa, Ali menyelipkan cincin warna hijau di jari kelingkingnya. Menggenapi penampilannya laksana Dewa Judi di film tersebut. Bedanya, Chou Yun Fat memakai cincin jade asli.

Setelah pemeriksaan identitas, Ali pun memasuki arena judi. Awalnya hanya melihat-lihat sekeliling. Semua orang sibuk dengan permainannya masing-masing. Baru kali pertama inilah, Ali ke tempat judi super mewah ini.

Ali melihat banyak sekali mesin judi elektronik slot machine. Taruhannya pun murah. Rata-rata dibawah $1.  Lebih mahal jika memainkan Baccarat, Big Wheel dan Blackjack. Minimum $10 hingga $50. Permainan lebih mahal lagi ada di meja judi. Berhadapan dengan bandar dan pemain lainnya. Apapun permainannya, rata-rata minimum bet $300. Baccarat dan blackjack, jenis yang paling digemari.

Ali kemudian duduk di satu meja dekat bartender. Bingung mau minum apa. Ia pun mengiyakan tawaran bartender menikmati segelas cocktail. Entah apa namanya, Ali tidak bertanya. Tidak ingin terlihat kuper. Ali menikmat sambil melihat-lihat suasana di sekitarnya. Rasanya campur aduk, agak asam, manis dan bikin panas tenggorokan. Tiba-tiba tatapan matanya bertemu dengan sorot mata perempuan berdiri tak jauh dari tempatnya.

Perempuan itu cantik. Seperti Dewi Kwan Im yang turun ke bumi. Wajahnya halus. Kulit putihnya semakin bersinar terpapar sorot lamput. Rambut panjang dibiarkan terurai. Tubuhnya tinggi semampai dibalut baju putih tipis melekat pas di badannya. Matanya sipit, terlihat bening dan indah. Bibir tipis merah merekah itu melemparkan senyuman.

Ali agak ragu membalas. Ia memastikan senyuman itu ditujukan padanya. Ia menengok kanan, kiri dan belakang. Setelah yakin tidak ada orang di sekitarnya. Ia pun membalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Tiba-tiba perempuan itu berjalan mendekat. Ali sang playboy cap mangga dua, tiba-tiba merasa gugup. Perempuan itu menyapa dalam Bahasa Kanton. “I don’t speak Mandarin,“ balas Ali. Baginya, semua Bahasa China dianggap Mandarin. Perempuan itu kembali tersenyum. Tangannya diulurkan sambil menyebutkan namanya, Felicia Wang.

Ali menyambut uluran tangannya. Suaranya penuh percaya diri, “Ali Baramuli,” kata Ali sambil menggengam erat jari jemari perempuan itu.

“May I?”  tanya perempuan itu. Suaranya lembut.  Tangan halusnya menggeser salah satu kursi. Belum sempat Ali menjawab, perempuan itu sudah duduk. Sangat dekat, hingga Ali mencium aroma tubuhnya yang wangi. Ali semakin gugup. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya. Mulutnya kelu dan kehilangan kata-kata.

Perempuan itu berinisiatif pesan minum sendiri. Ali hanya mampu menganggukkan kepala. Keduanya berkomunikasi dalam bahasa Inggris meski kosakatanya juga terbatas. Namun, ditambah dengan isyarat, memudahkan memahami maksudnya.

Dalam hatinya, Ali bersyukur tidak ikut mal. “Kalau cuma mal, di Surabaya juga banyak bro,” katanya saat aku bilang ingin ke mal saja daripada ke arena judi.

***

Tak berapa lama kemudian, mereka berdua beranjak ke slot machine. Felicia Wang menggandeng tangan Ali dengan eratnya. Ali pun tak kuasa menolak. Termasuk saat diminta mengeluarkan uang untuk permainan itu.

Felicia Wang membimbing jari jemari Ali menekan tombol bermain. Layar berputar dan berhenti sekian detik kemudian. Gambar dilayar membentuk urutan. Ada yang sama, ada juga gambar berbeda. Beberapa kali sempat menang. Namun, lebih banyak kalahnya. “Ah hanya uang kecil,” kata Ali dalam hati. Lebih tepat menghibur diri.

Perempuan itu kemudian pesan minum lagi. Ali tidak tahu jenis minuman dipesannya. Ia pun tidak kuasa menolak saat minuman itu disuapkan ke mulutnya. Ah romantisnya, kata Ali dalam hati.

Setelah cukup puas bermain di slot machine, perempuan cantik itu mengajaknya ke meja baccarat. Karena sudah tidak punya uang cash, kartu debit kembali digunakan untuk membeli chips. Koin pengganti uang di meja judi.

Baccarat sebenarnya permainan sederhana. Pemain tinggal memilih taruhannya dalam dua pilihan kotak, yakni banker atau player. Bandar akan mengeluarkan kartu dan ditaruh dua kotak tersebut. Pemenangnya adalah pemain yang pilihannya (baik dalam posisi banker atau player) memperoleh angka mendekati atau berjumlah 9. Kartu 2 sampai 9 bernilai sama dengan angka dalam kartu sedangkan kartu 10, “Jack, Queen” dan “King” bernilai 0, “Ace” bernilai 1.

Felicia Wang sangat jago bermain baccarat. Chips demi chips dikumpulkannya. Semakin menumpuk. Beberapa kali bibirnya berbisik di telinga Ali, This is your lucky day, babe…,” sembari tangannya merangkul bahu Ali.

Sesekali bersandar dibahunya. Imajinasi Ali membumbung tinggi ke angkasa. Minuman di hadapannya tanpa ragu dihabiskan. Saat perempuan itu menawarkan minuman lagi pun, hanya “iya” dan “iya” jawabannya.

Kemenangan itu didapat juga saat beralih ke meja blackjack.  Permainan ini sangat populer dan banyak dimainkan para penjudi. Pemain menang jika jumlah angka kartunya lebih besar dari dealer dan tidak lebih tinggi dari 21.

Waktu tak terasa cepat berlalu. Ali begitu menikmati suasana meskipun tidak melakukan permainan sendiri. Sesekali perempuan itu membisikan sesuatu. Entah berkata apa, bagi Ali tidak penting. Bisikan, hembusan nafas dan sentuhan bibirnya yang kerapkali bersentuhan dengan telinganya, membuat perasaannya meroket ke langit ke tujuh. Dalam hatinya berkata, menang banyak nih. Dapat duit dan berhasil menggaet perempuan cantik.

Namun, pada saat yang sama ia merasakan kepalanya mulai terasa berat, pusing. Dasi kupu-kupu dilepas. Tubuhnya mulai bersandar. Pandangan matanya mulai buram. Berkunang-kunang. Semakin lama-semakin kabur dan akhirnya…..tiba-tiba semuanya jadi gelap.

***

Ali tak tahu pasti berapa lama tidak sadarkan diri. Saat matanya terbuka, ia melihatku dan Hamim duduk di hadapannya. Kami menemukannya di sebuah klinik tidak jauh dari situ. Menurut security, Ali tak sadarkan diri dan kemudian dibawa ke klinik terdekat. Felicia Wang sudah tidak terlihat lagi. Tidak ada satu jejak yang dapat mengendus keberadaannya.

Ali masih tampak bingung. Sorot matanya kosong. Ia coba memahami peristiwa terjadi. Hamim minta Ali cek dompetnya dan sebagainya. Semua lengkap kecuali uang cash yang habis untuk judi.  Ali tidak kaget karena tidak terlalu banyak jumlahnya. Namun, senyumnya berubah kecut saat mengecek kartu ATM. Isinya tinggal nilai minimal tidak bisa ditarik lagi. Ia baru sadar, melakukan banyak transaksi beli chips bermain baccarat dan blackjack.

Senyumannya semakin kusut sekusut jasnya, saat Ali teringat Felicia Wang menang dan mengumpulkan banyak chips di meja baccarat dan blackjack. Namun saat ini, tidak ada satu koin pun di tangannya.

Aku dan Hamim mendengarkan Ali bercerita. Sulit untuk mendefiniskan, rasa empati atau geli. Tiba-tiba Hamim mendendangkan lagu Bang Haji Rhoma Irama, “Judi, menjanjikan kemenangan…” (*)

***

 

 

 

*Ichwan Arifin.
Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Disela-sela kesibukan bekerja di sebuah perusahaan migas. Menulis adalah panggilan jiwa yang terus dilakukan. Beragam tulisan fiksi dan nonfiksi dimuat di banyak media. Buku baru yang diterbitkan, Antologi Cerpen “ Darah Juang, Ode untuk Alexandra”.

MENJELANG sore, feri yang kami tumpangi merapat di Tapia Harbor, Makau. Cuaca cerah menyambut. Angin laut berhembus kencang. Kali ini, aku ke Makau bersama Ali dan Hamim. Kami menyeberang dari Hongkong.

Saat turun di dermaga kulihat papan penunjuk ditulis dalam empat bahasa, Inggris (Arrivals), Portugis (Chegadas), dan tiga lainnya aku tidak tahu apakah tulisan China, Kanji atau sejenis itu. Antrean tidak terlalu padat. Prosesnya juga sangat cepat.

Makau, pulau kecil terletak di pantai selatan China daratan. Pada 1557, Portugis menancapkan kekuasaannya di pulau kecil ini. Makau dijadikan sebagai koloni seberang lautan. Baru pada 1999, Portugis mengembalikan Makau ke Pemerintah China. Hingga kini, warisan kolonialisme masih kental. Mulai dari bahasa, tata kota hingga arsitektur bangunan sangat terlihat pengaruh Portugis.

Makau dijuluki “Las Vegas Asia”. Merujuk pada Kota Las Vegas, pusat judi dan kota terpadat di negara bagian Nevada, Amerika Serikat. Julukan itu tidak salah. Beragam kasino besar dan terkenal di seluruh dunia dapat ditemukan di Makau. Tapia Harbor jaraknya sangat dekat dengan pusat kasino terkenal seperti the Venetian Macao, Casino Lisboa, the Plaza Macao dan sebagainya.

Kasino-kasino tersebut menjadi tujuan para penggila judi dari seluruh dunia. Dari jumlah pengunjung, tampaknya jauh lebih ramai daripada pusat judi lainnya di Asia seperti Sky Casino Genting Highland di Pahang, Malaysia.

- Advertisement -

The Venetian merupakan salah satu casino dan resort hotel terbesar. Sesuai namanya, tata letak, ornamen dan segala pernik-perniknya dibuat ala Kota Venezia, Italia. Atapnya didesain mirip langit, membuat kita seakan di alam terbuka. Tak ketinggalan pula, terdapat sungai buatan dan beragam perahu “gondola” yang dapat dinikmati mengelilingi penjuru gedung. Para gondolier dengan kostum dan topinya yang khas berdiri di atas gondolanya.

***

Awalnya, kami tidak punya rencana ke Makau. Agenda utama di Hongkong. Namun, karena urusan di Hongkong selesai lebih awal, Ali mengajak menyeberang ke kota judi ini. ‘’Tur, kan jaraknya cuma sejengkal doang. Tinggal nyebrang aja. Ayolah mainkan lah, bro!” bujuknya. Hamim pun mengamini ajakan itu. Akhirnya, aku pun juga sepakat.

Kami bertiga berteman cukup lama hingga berbisnis bersama. Di antara kami bertiga, Hamim paling tua. Mungkin karena itulah, dia sering dijadikan rujukan. Hamim juga suka memberikan nasihat, motivasi dan semangat. Rambut perak dan kerut di wajahnya seolah semakin menegaskan kematangan dalam hidup. Usiaku di antara Hamim dan Ali. Mereka memanggilku “Tur”, dari nama Guntur.

Ali yang paling muda dan selalu ceria. Badannya tidak terlalu tinggi. Kulit agak kehitaman, rambut keriting berjambul. Wajah tirus dengan bola mata yang besar. Termasuk kategori tidak ganteng. Namun, penampilannya selalu rapi. Ali juga sangat “pede” dan selalu mengklaim kalau dirinya sangat menarik di mata para perempuan.

Ia sering mempersonifikasikan diri selayaknya Ali Topan. Tokoh utama film Ali Topan, Anak Jalanan. Sangat terkenal di era 1970-an. Dibintangi oleh Yati Octavia dan Junaidi Salat. Referensi Ali memang “jadul”. Namun, film itu sangat melegenda. Hingga diproduksi beberapa kali, termasuk dalam bentuk sinetron pada 2016. Bercerita tentang anak muda bernama Ali Topan yang bandel, tumbuh di keluarga tidak harmonis. Tapi, dikenal cerdas di sekolah, dijadikan panutan dan ganteng sehingga digandrungi banyak perempuan.

Wulan salah satu teman dekatnya, sering me-bully dan menjulukinya sebagai “Ali Sopan, Playboy Cap Mangga Dua”. Memang banyak perempuan yang merasa nyaman sama Ali. Sikap dan perilakunya yang jenaka membuat mudah diterima teman-teman perempuan. Termasuk sering diminta mengantar  kesana-kemari.

Ali sangat baik, loyal dalam pertemanan dan mudah menolong. Hanya satu aspek bikin teman-temannya tidak kuat jika mesti mengaku sebagai temannya, yaitu rasa percaya dirinya “overdosis” jika berhadapan dengan perempuan.

***

Setibanya di Makau, kami check in di hotel di sekitar pusat kota. Mencari room rate sesuai isi dompet. Meski go-show, masih banyak kamar tersedia. Setelah itu, kami bergegas ke Venetian. Gedungnya sangat megah. Ada pusat perbelanjaan, hotel dan tentunya arena judi. Tidak ada pemeriksaan petugas saat masuk gedung. Pemeriksaan identitas hanya diterapkan sebelum memasuki arena judi untuk memastikan usianya 21 tahun ke atas.

Aku dan Hamim pergi ke mal, sedangkan Ali masuk ke arena perjudian. “Mau lihat-lihat aja, sembari cari pengalaman baru, bro” katanya sambil tersenyum lebar.

“Hati-hati bro, jangan silap mata,” jawabku sembari ketawa melihat Ali memakai jas lengkap.

Lehernya dihiasi dasi kupu-kupu. Biar mirip Chou Yun Fat, katanya. Aktor Hongkong yang memerankan Kho Cun, tokoh utama di film God of Gamblers. Tak lupa, Ali menyelipkan cincin warna hijau di jari kelingkingnya. Menggenapi penampilannya laksana Dewa Judi di film tersebut. Bedanya, Chou Yun Fat memakai cincin jade asli.

Setelah pemeriksaan identitas, Ali pun memasuki arena judi. Awalnya hanya melihat-lihat sekeliling. Semua orang sibuk dengan permainannya masing-masing. Baru kali pertama inilah, Ali ke tempat judi super mewah ini.

Ali melihat banyak sekali mesin judi elektronik slot machine. Taruhannya pun murah. Rata-rata dibawah $1.  Lebih mahal jika memainkan Baccarat, Big Wheel dan Blackjack. Minimum $10 hingga $50. Permainan lebih mahal lagi ada di meja judi. Berhadapan dengan bandar dan pemain lainnya. Apapun permainannya, rata-rata minimum bet $300. Baccarat dan blackjack, jenis yang paling digemari.

Ali kemudian duduk di satu meja dekat bartender. Bingung mau minum apa. Ia pun mengiyakan tawaran bartender menikmati segelas cocktail. Entah apa namanya, Ali tidak bertanya. Tidak ingin terlihat kuper. Ali menikmat sambil melihat-lihat suasana di sekitarnya. Rasanya campur aduk, agak asam, manis dan bikin panas tenggorokan. Tiba-tiba tatapan matanya bertemu dengan sorot mata perempuan berdiri tak jauh dari tempatnya.

Perempuan itu cantik. Seperti Dewi Kwan Im yang turun ke bumi. Wajahnya halus. Kulit putihnya semakin bersinar terpapar sorot lamput. Rambut panjang dibiarkan terurai. Tubuhnya tinggi semampai dibalut baju putih tipis melekat pas di badannya. Matanya sipit, terlihat bening dan indah. Bibir tipis merah merekah itu melemparkan senyuman.

Ali agak ragu membalas. Ia memastikan senyuman itu ditujukan padanya. Ia menengok kanan, kiri dan belakang. Setelah yakin tidak ada orang di sekitarnya. Ia pun membalas dengan senyum dan anggukan kepala.

Tiba-tiba perempuan itu berjalan mendekat. Ali sang playboy cap mangga dua, tiba-tiba merasa gugup. Perempuan itu menyapa dalam Bahasa Kanton. “I don’t speak Mandarin,“ balas Ali. Baginya, semua Bahasa China dianggap Mandarin. Perempuan itu kembali tersenyum. Tangannya diulurkan sambil menyebutkan namanya, Felicia Wang.

Ali menyambut uluran tangannya. Suaranya penuh percaya diri, “Ali Baramuli,” kata Ali sambil menggengam erat jari jemari perempuan itu.

“May I?”  tanya perempuan itu. Suaranya lembut.  Tangan halusnya menggeser salah satu kursi. Belum sempat Ali menjawab, perempuan itu sudah duduk. Sangat dekat, hingga Ali mencium aroma tubuhnya yang wangi. Ali semakin gugup. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhnya. Mulutnya kelu dan kehilangan kata-kata.

Perempuan itu berinisiatif pesan minum sendiri. Ali hanya mampu menganggukkan kepala. Keduanya berkomunikasi dalam bahasa Inggris meski kosakatanya juga terbatas. Namun, ditambah dengan isyarat, memudahkan memahami maksudnya.

Dalam hatinya, Ali bersyukur tidak ikut mal. “Kalau cuma mal, di Surabaya juga banyak bro,” katanya saat aku bilang ingin ke mal saja daripada ke arena judi.

***

Tak berapa lama kemudian, mereka berdua beranjak ke slot machine. Felicia Wang menggandeng tangan Ali dengan eratnya. Ali pun tak kuasa menolak. Termasuk saat diminta mengeluarkan uang untuk permainan itu.

Felicia Wang membimbing jari jemari Ali menekan tombol bermain. Layar berputar dan berhenti sekian detik kemudian. Gambar dilayar membentuk urutan. Ada yang sama, ada juga gambar berbeda. Beberapa kali sempat menang. Namun, lebih banyak kalahnya. “Ah hanya uang kecil,” kata Ali dalam hati. Lebih tepat menghibur diri.

Perempuan itu kemudian pesan minum lagi. Ali tidak tahu jenis minuman dipesannya. Ia pun tidak kuasa menolak saat minuman itu disuapkan ke mulutnya. Ah romantisnya, kata Ali dalam hati.

Setelah cukup puas bermain di slot machine, perempuan cantik itu mengajaknya ke meja baccarat. Karena sudah tidak punya uang cash, kartu debit kembali digunakan untuk membeli chips. Koin pengganti uang di meja judi.

Baccarat sebenarnya permainan sederhana. Pemain tinggal memilih taruhannya dalam dua pilihan kotak, yakni banker atau player. Bandar akan mengeluarkan kartu dan ditaruh dua kotak tersebut. Pemenangnya adalah pemain yang pilihannya (baik dalam posisi banker atau player) memperoleh angka mendekati atau berjumlah 9. Kartu 2 sampai 9 bernilai sama dengan angka dalam kartu sedangkan kartu 10, “Jack, Queen” dan “King” bernilai 0, “Ace” bernilai 1.

Felicia Wang sangat jago bermain baccarat. Chips demi chips dikumpulkannya. Semakin menumpuk. Beberapa kali bibirnya berbisik di telinga Ali, This is your lucky day, babe…,” sembari tangannya merangkul bahu Ali.

Sesekali bersandar dibahunya. Imajinasi Ali membumbung tinggi ke angkasa. Minuman di hadapannya tanpa ragu dihabiskan. Saat perempuan itu menawarkan minuman lagi pun, hanya “iya” dan “iya” jawabannya.

Kemenangan itu didapat juga saat beralih ke meja blackjack.  Permainan ini sangat populer dan banyak dimainkan para penjudi. Pemain menang jika jumlah angka kartunya lebih besar dari dealer dan tidak lebih tinggi dari 21.

Waktu tak terasa cepat berlalu. Ali begitu menikmati suasana meskipun tidak melakukan permainan sendiri. Sesekali perempuan itu membisikan sesuatu. Entah berkata apa, bagi Ali tidak penting. Bisikan, hembusan nafas dan sentuhan bibirnya yang kerapkali bersentuhan dengan telinganya, membuat perasaannya meroket ke langit ke tujuh. Dalam hatinya berkata, menang banyak nih. Dapat duit dan berhasil menggaet perempuan cantik.

Namun, pada saat yang sama ia merasakan kepalanya mulai terasa berat, pusing. Dasi kupu-kupu dilepas. Tubuhnya mulai bersandar. Pandangan matanya mulai buram. Berkunang-kunang. Semakin lama-semakin kabur dan akhirnya…..tiba-tiba semuanya jadi gelap.

***

Ali tak tahu pasti berapa lama tidak sadarkan diri. Saat matanya terbuka, ia melihatku dan Hamim duduk di hadapannya. Kami menemukannya di sebuah klinik tidak jauh dari situ. Menurut security, Ali tak sadarkan diri dan kemudian dibawa ke klinik terdekat. Felicia Wang sudah tidak terlihat lagi. Tidak ada satu jejak yang dapat mengendus keberadaannya.

Ali masih tampak bingung. Sorot matanya kosong. Ia coba memahami peristiwa terjadi. Hamim minta Ali cek dompetnya dan sebagainya. Semua lengkap kecuali uang cash yang habis untuk judi.  Ali tidak kaget karena tidak terlalu banyak jumlahnya. Namun, senyumnya berubah kecut saat mengecek kartu ATM. Isinya tinggal nilai minimal tidak bisa ditarik lagi. Ia baru sadar, melakukan banyak transaksi beli chips bermain baccarat dan blackjack.

Senyumannya semakin kusut sekusut jasnya, saat Ali teringat Felicia Wang menang dan mengumpulkan banyak chips di meja baccarat dan blackjack. Namun saat ini, tidak ada satu koin pun di tangannya.

Aku dan Hamim mendengarkan Ali bercerita. Sulit untuk mendefiniskan, rasa empati atau geli. Tiba-tiba Hamim mendendangkan lagu Bang Haji Rhoma Irama, “Judi, menjanjikan kemenangan…” (*)

***

 

 

 

*Ichwan Arifin.
Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Disela-sela kesibukan bekerja di sebuah perusahaan migas. Menulis adalah panggilan jiwa yang terus dilakukan. Beragam tulisan fiksi dan nonfiksi dimuat di banyak media. Buku baru yang diterbitkan, Antologi Cerpen “ Darah Juang, Ode untuk Alexandra”.

Artikel Terkait

Menunggu

Manusia Silver

BUNG!

Geremengan Pakde Katno

Most Read

Minta Hukuman Ringan

Rekrut Caleg Potensial

Sempat Terkendala Izin PT KAI

Sewa Lahan Rugikan Warga Ngampel

Artikel Terbaru

Suka Mewarnai Pemandangan

Terungkap saat Disel Dijual di FB

Amankan Dua Motor tak Standar

Pikap v Motor, Bapak – Anak Tewas


/