MENIKMATI malam di Bojonegoro memang belum lengkap apabila tidak sambil menikmati kopi hitam yang banyak ditemui di pinggir jalan. Di salah satu kedai di Jalan dr Suharso terlihat ada segerombolan muda-mudi sedang asyik mengobrol dan sesekali terdengar gelak tawa. Suasana kedai yang cozy membuat obrolan mereka terkesan hangat sekali, tidak saling memainkan gawainya masing-masing.
Ketika menghampiri mereka yang berada di sudut kedai, mereka pun menyambut dengan penuh keakraban. Mereka adalah Komunitas Akustik Bojonegoro, sebuah komunitas pecinta musik di Bojonegoro melalui jalur akustik. Feril Amriyudha Pribadi bersama dua kawannya yakni Desi Aprilianti dan Muhammad Imam Moejtaba menjelaskan secara rinci seperti apa perwujudan Komunitas Akustik Bojonegoro.
Mereka mengaku semenjak dibentuk pada 11 Desember 2016, Komunitas Akustik Bojonegoro tidak memiliki kepengurusan yang mengikat. Mereka mengalir dengan mengedepankan solidaritas dan persaudaraan anggota. Namun, Feril, sapaan akrabnya, memang didapuk untuk mengurus media sosial Komunitas Akustik Bojonegoro. Feril sendiri mengungkapkan bahwa Komunitas Akustik Bojonegoro lahir awalnya dari Unigoro, lalu dikembangkan lagi oleh kawan-kawannya serta berupaya komunitas tersebut mampu menjadi wadah para pecinta musik akustik.
Komunitas Akustik Bojonegoro menegaskan, tidak memaksa orang yang ingin bergabung harus bisa bermain musik, namun sebagai penikmat pun bisa diterima. Sebab, sejak awal memang komunitas tersebut hanyalah lingkaran pertemanan yang ingin membuat kegiatan-kegiatan positif. ”Hal-hal positif memang harus diamini oleh para pemuda masa kini. Karena itu, kami ingin bentuk komunitas agar mampu menampung pemuda-pemuda yang positif dalam dunia bermusik,” terangnya.
Saat ini memang baru 17 anggota dalam Komunitas Akustik Bojonegoro. Namun, ada kemungkinan komunitas tersebut menjadi lebih besar. Dari 17 anggota tersebut, ada tiga band akustik yang kerap jamming bareng menghibur banyak orang pengunjung sebuah kafe atau restoran. ”Kami rutin jamming di Bebek Harissa tiap Sabtu dan kerap mengisi juga di kafe, namun menyesuaikan permintaan pihak pemilik kafe,” jelasnya.
Sementara itu, Imam Moejtaba juga ikut menjelaskan, Komunitas Akustik Bojonegoro ingin menjadi wadah pemuda berbakat dari desa-desa di Bojonegoro. Karena banyak sekali potensi yang jarang dilirik oleh warga perkotaan. ”Karena kami sering melihat banyak sekali pemain musik atau pengamen dari desa yang memiliki kemampuan yang sangat potensial, sehingga kami ingin menjadi wadah untuk mereka,” tuturnya. Sebab, tidak bisa dipungkiri, kata dia, mereka juga ingin dalam berkomunitas mampu menghasilkan uang dari ‘mengamen’ yang konsepnya lebih serius, contohnya ngamen dari kafe ke kafe.
Tentu, tak sedikit mimpi para pemuda yang ingin menjadikan musik sebagai ladang rezeki. Sehingga, dibutuhkan sebuah kekompakan dalam mengorganisasi hal tersebut. Mereka pun sangat terbuka bagi siapapun yang ingin bergabung dalam komunitasnya. Terkadang, ada yang bisa main gitar saja atau jago nyanyi saja, hal tersebut bisa jadi kesempatan menemukan teman bermusik ketika gabung Komunitas Akustik Bojonegoro. ”Di dalam komunitas kami merupakan tempat untuk saling berbagi ilmu, cerita, dan apa pun yang bisa mengembangkan diri masing-masing anggota,” katanya.
Sementara itu, bagi Desi Aprilianti, musik akustik banyak peminatnya, namun masih banyak yang malu bergabung dengan kami. Jadi, harapan dia, berjalannya waktu komunitas mereka mampu menjaring lebih banyak anggota lagi. Karena berkarya itu sebuah wujud nyata menunjukkan kreativitas mereka sebagai seorang remaja. ”Kami memang masih seputar mengaransemen lagu-lagu musisi yang sudah ada, namun kami kini juga sedang menciptakan jingle¬ lagu untuk restoran atau kafe,” ujarnya. Intinya, perjalanan komunitas mereka seyogyanya mampu memberikan dampak sosial yang positif.