LAMONGAN, Radar Lamongan – Bekas galian jaringan gas (jargas) menimbulkan polemik. Pihak pelaksana proyek tersebut belum melakukan rekondisi, yakni tidak mengembalikan seperti sebelumnya. Sehingga cukup membahayakan pengguna jalan yang melintas. Hal itu membuat warga di sejumlah desa/ kelurahan di Lamongan terpaksa swadaya untuk memperbaiki bekas galian jargas tersebut.
Lurah Sidoharjo, Kecamatan/ Kabupaten Lamongan, Subakat menuturkan, untuk bekas galian jargas banyak yang diperbaiki sendiri oleh warga. Sebab, perbaikan dari pelaksana proyek jargas dinilai tidak aman. Sehingga, masyarakat harus memperbaiki ulang.
Selain masalah rekondisi, warga banyak mengeluh masalah besaran tagihan. Karena pengecekan dari pihak PGN biasanya dilakukan tiga bulan sekali, yang membuat tagihan pelanggan membengkak. Belum lagi tambahan denda yang wajib dilunasi. Sebab jika tidak membayar akan dilakukan penyegelan.
‘’Sebenarnya banyak masyarakat yang ingin mengajukan ditutup karena tingginya tagihan. Idealnya satu bulan misalnya antara Rp 36 ribu sampai 40 ribu, ternyata bisa Rp 52 ribu bahkan lebih. Kalau dibayar per bulan mungkin lebih ringan. Sebaliknya kalau tagihannya tiga bulan tentu memberatkan,” tutur Bakat, sapaan akrabnya.
Sementara itu, Kades Deket Wetan, Kusbianto menuturkan, untuk pekerjaan jargas sebenarnya belum tuntas. Data tersebut belum terdaftar dari awal, kemudian ada sosialisasi tambahan usulan. Tapi sampai sekarang belum dipasang. Sedangkan informasinya pekerjaan dan pemeliharaan tuntas awal Maret.
‘’Kita juga bingung harus menjelaskan bagaimana ke warga, kalau pekerjaan sudah selesai. Sementara di Deket ada beberapa keluarga yang belum terpasang,” ucap Kusbianto.
Perwakilan PT Hutama Karya (HK) selaku pelaksana proyek jargas, Tito mengklaim, bangunan sudah dikembalikan setelah pekerjaan proyek selesai. Namun, diakuinya, sebagian desa/kelurahan minta dikerjakan sendiri, dengan harga yang cukup tinggi. Sehingga penyelenggara tidak bisa menyanggupi itu.
Menurut dia, sebelumnya pernah rapat dengan pemda dan lurah. Yakni kesepakatannya digarap sendiri oleh masyarakat. Meski sudah negosiasi masalah harga, tapi tetap menemui jalan buntu.
Bahkan, pihak HK sudah meminta solusi ke pemkab dan perkim terkait harga. Ternyata solusinya diminta rekondisi sendiri. Sedangkan, masa pemeliharaan sudah hampir habis.
‘’Kita sudah berusaha rekondisi sendiri, tapi ditolak sama kades dan lurahnya. Usaha kita sudah maksimal, tapi ibarat operasi tidak mungkin juga kulitnya bisa semulus setelah dioperasi,” katanya.
Ketika pekerjaan selesai, Tito mengaku sudah langsung dilakukan rekondisi. Tapi karena musim penghujan, serta jalannya juga digunakan mobilisasi kendaraan secara terus-menerus. Hal itu mempercepat tingkat kerusakannya.
Sementara keinginan untuk rekondisi lagi tidak bisa dilakukan, karena beberapa keterbatasan. Termasuk penawaran untuk melibatkan desa dalam pekerjaannya tidak bisa disetujui, karena permintaannya sangat tinggi yakni Rp 300 ribu per titik.
‘’Kita sudah kerjakan sesuai dengan kontrak dan dikembalikan, meski belum maksimal, karena kondisi jalan sudah dilewati saat masih pemeliharaan,” ucapnya.
Kabag SDA Setda Kabupaten Lamongan, Fadheli Purwanto mengatakan, terkait komplain masalah rekondisi sudah sering terjadi. Pemkab berusaha memfasilitasi dengan mempertemukan dari pelaksana dengan masyarakat yang diwakili lurah dan kades. Namun karena proyek dari Kementerian, sehingga daerah hanya membantu memfasilitasi tanpa bisa berbuat lebih.
‘’Kita hanya berusaha mengusulkan agar Lamongan bisa menerima gas negara untuk mengurangi konsumsi gas 3 kg, tapi harapannya dari pelaksana juga menjalankan sesuai dengan kontrak yang disepakati. Sehinga sama-sama enak,” terangnya. (rka/ind)