LAMONGAN, Radar Lamongan – Tahun Baru identik dengan kembang api dan terompet. Namun, pandemi Covid-19 membuat kegiatan tahun baru selama tiga tahun ke belakang dibatasi. Imbasnya, perajin terompet menghentikan produksi akibat pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Setelah puasa selama tiga tahun, perajin terompet bisa tersenyum lebar pada Perayaan Tahun Baru ini. Itu setelah pemerintah memastikan mencabut kebijakan PPKM. Kampung perajin terompet di Dusun Bulak, Desa Sumberaji, Kecamatan Sukodadi kembali menggeliat. Salah satu pasangan suami istri (pasutri) perajin terompet setempat, Santoso dan Sujiati dengan telaten membuat berbagai macam terompet.
Perajin terompet di Dusun Bulak, ada sejak Tahun 1989. Sedangkan, Santoso mulai melirik menjadi perajin terompet sejak Tahun 1992. Sehingga, terhitung sudah lebih dari seperempat abad, Santoso menggeluti bisnis ini. Sujiati membenarkan, hampir 90 persen warga dusunnnya membuat terompet. Ada yang menjual di luar Jawa. Sedangkan, dia mengaku memilih menjual di Lamongan atau Gresik.
‘’Saya juga ikut membuat terompetnya,’’ kata ibu empat anak ini kepada Jawa Pos Radar Lamongan, kemarin (31/12).
Sementara itu, Santoso mengakui berhenti berproduksi terompet, karena ada isu bakteri menjadi media penularan Covid-19. ‘’Saat ini yang baru mulai membuat lagi hanya lima orang, karena masih khawatir,’’ tutur Santoso
Sebelum pandemi Covid-19, Santoso mengaku menjadi perajin dan menjual terompet hingga keluar Jawa. Sedangkan, istrinya di daerah terdekat yakni Lamongan dan Gresik. Namun, pada momen Perayaan Tahun Baru ini, Santoso menjual terompet ke daerah terdekat.
‘’Sebelum pandemi, sehari bisa membuat 50 biji, kalau model bengkok, kalau biasa bisa membuat 200 biji, karena lebih susah model bengkok mas,’’ ucap pria berusia 52 tahun ini.
Sebelum pandemi, Santoso mengklaim pesanan terompet mencapai 15 ribu unit. Sedangkan, pada momen Perayaan Tahun Baru ini, dirinya hanya mendapatkan pesanan sekitar 4 ribu unit. ‘’Habis kirim ke Kalimantan 2.500 unit, untuk daerah sini Gresik dan Bojonegoro kurang lebih 1.500 unit,’’ imbuhnya.
Santoso berharap agar ke depan tidak ada pembatasan dan larangan lagi. Sehingga, lanjut dia, pedagang terompet bisa berjualan dengan leluasa dan ekonomi bisa berjalan lagi. ‘’Ke depan ingin bisa kembali seperti semula,’’ ucapnya.
Selanjutnya, Santoso memberikan contoh cara membuat terompet dari bahan kertas dan plastik hias. Tet … tet ….. tet ….. bunyi terompet cukup lantang di telinga, saat Santoso sedang menyetel suara terompet. Santoso biasanya membuat bermacam-macam terompet. Di antaranya terompet panjang, naga, biola, dan saksofon.
Harga terompet bervariatif tergantung bentuk dan ukuran. Misalnya terompet panjang seharga Rp 4 ribu per unit, terompet biola dan seksofon masing-masing Rp 5 ribu per unit, dan terompet naga Rp 6 ribu per unit.
Santoso menjelaskan, proses pembuatan terompet panjang cukup mudah dan sekali proses. Sedangkan, terompet dengan bentuk bengkok membutuhkan beberapa proses. Yakni menggulung karton, merendam dengan lem rajawali, menjemur, dan dibungkus menggunakan plastik tiga dimensi. Setelah jadi baru disetel suarannya.
‘’Untuk pengeringan ini terkendala cuaca. Jika panas satu hari sudah kering. Namun jika cuaca seperti ini hujan, bisa dua hari pengeringannya,’’ katanya. (sip/ind)