JAUH sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) di Bojonegoro kiprahnya sudah bergerak. Diawali dari jejak para ulama NU di Kecamatan Padangan. Jejak awal ini bermula KH Wahab Hasbulloh (pendiri NU) yang sering melakukan perjalanan dari Jombang menuju kediaman KH Asnawi di Kudus, Jawa Tengah. Selama perjalanan, lebih memilih mampir sejenak di rumah KH Hasyim di Jala’an Padangan.
PCNU Padangan pun berdiri lebih dulu pada 1938. Saat itu, Belanda masih begitu kuat bergerak mengawasi para ulama-ulama berdakwah. Zaman terus bergerak, hingga ulama-ulama dari Padangan hijrah mengembangkan ke Bojonegoro Kota. PCNU Bojonegoro berdiri pada 1953 setelah kemerdekaan. Pertalian Padangan dan Bojonegoro ini membawa berkah, hingga 26 Januari 1986 PCNU Padangan dan PCNU Bojonegoro gabung menjadi satu.
Harlah Satu Abad NU pada hari ini (7/2) menjadi titik awal, bagaimana kita terus merawat dan menjaga NU di Bojonegoro. Membasuh muka dengan wudu agar NU terus berkhidmat untuk bangsa dan masyarakat. Jejak para ulama bergerak selama penjajahan hingga NU di Bojonegoro tegak, menjadi estafet harus kita teruskan.
NU untuk semua golongan. Semua bisa merasakan aroma NU yang begitu wangi menebar Islam rahmatan lilalamin. Seperti bumi, NU begitu bermanfaat hingga pepohonan dan dedaunan tumbuh subur. Begitulah dakwah NU terus meneduhkan.
Yahya Cholil Tsaquf dalam bukunya Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama, menuturkan NU dilahirkan dengan mengusung cita-cita peradaban, yaitu mewujudkan tata dunia yang harmonis dan adil berdasarkan akhlaqul karimah dan penghormatan terhadap kesetaraan martabat di antara sesama manusia.
Lantas apa yang kita perbuat? Kita harus meneruskan estafet yang mulia ini. Bisa melakukan apa saja, asalkan berkhidmat untuk agama dan jejak legacy para ulama-ulama pendiri NU. Menggerakkan musala dan masjid. Menjadi pioner mengajak masyarakat kembali adem ayem berteduh di masjid.
Menaburkan pengajian, istighotsah, salawatan, hingga diniyah. Merawat pondok pesantren, menebar santri-santri, hingga membudayakan ngaji semua kalangan. NU sudah satu abad berlalu, namun jejaknya sudah harum di mana-mana. Itulah tugas kita sebagai Nahdliyin harus tak lelah menebar wangi NU.
Menapaki abad kedua ini, NU menjadi kekuatan besar membersamai masyarakat semua kalangan menuju lebih baik. NU menjadi lerung hati bagi semua kalangan menjadi lebih baik. NU bukan sekadar organisasi masyarakat, tetapi bagian jamiyah yang besar mengajak umat menuju kedamaian dunia dan akhirat. (*)
Anggota Mustasyar PCNU Bojonegoro., Ketua Dewan Masjid Indonesia (DMI) Bojonegoro