31 C
Bojonegoro
Monday, March 20, 2023

Angkringan Jogja ala Jonegaran

- Advertisement -

BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Sepanjang mata memandang, beragam kudapan tersaji di atas gerobak. Kudapan itu tertata rapi. Rerata ragam kudapan itu dengan ditusuk. Nasi putihnya dibungkus. Ada juga nasi putih dibungkus daun pisang. Alat panggangnya berada di sudut gerobak.

Asap dari alat panggang mengepul pelan, satu per satu muda-mudi datang di salah satu angkringan kawasan Desa Campurejo, Kecamatan Kota, kemarin petang (28/1). Cahaya remang membersamai pengunjung dan orang-orang dari berbagai usia menyantap kudapan di angkringan. Memperhangat persaudaraan.

Budaya makan malam di tempat sederhana itu perlahan kembali dirindukan bagi masyarakat Bojonegoro. Angkringan pernah populer era tahun 2000-an, dan sempat redup. Akhir-akhir ini, budaya bersantap kuliner di angkringan kembali ramai.

Angkringan sudah pasti bukan budaya asli Bojonegoro. Sebaliknya, khas Jogjakarta. Jarak Bojonegoro dengan Jogjakarta sekitar 220 kilometer (km) ternyata cukup dekat ketika di depan angkringan ala Bojonegoro atau Jonegaran.

Joni Susanto pemerhati sejarah Bojonegoro mengatakan, angkringan mulai menjamur sejak 2000-an. Karena memang angkringan berasal dari kekhasan masyarakat Jogjakarta. Di Bojonegoro hanya warung-warung kopi biasa. Tapi kalau warung kopi dengan konsep atau nama kafe kali pertama pada 1995 silam, yakni kafe Katiga.

- Advertisement -

“Kalau angkringan baru tahun 2000 yang mana murni mengadopsi angkringan asal Jogjakarta,” tuturnya.

Angkringan sendiri berasal dari kata angkring yang artinya alat berjualan makanan dengan cara dipikul. Lalu berkembang, konsep angkringan menetap di satu tempat saja. Berisi ragam kudapan yang siap disantap atau bisa dibakar dulu biar hangat. Biasanya gandengannya nasi sambal porsi mungil atau bisa disebut nasi kucing.

Menurut Joni, ragam kudapan di Bojonegoro tidak sama persis dengan angkringan khas Jogjakarta. Angkringan di Bojonegoro kudapannya didominasi makanan beku. 

“Kalau di Jogjakarta kan banyak baceman, jeroan, dan sebagainya. Selain itu, ada kopi diseduh bareng dengan arang panas atau biasa disebut kopi jos,” bebernya.

Hadirnya angkringan di Bojonegoro tentunya imbas dari perkembangan zaman. Kemungkinan ada banyak warga Bojonegoro pulang dari perantauannya, lalu bikin bisnis angkringan. Sama halnya dengan semakin menjamur orang berjualan seblak. Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos Radar Bojonegoro, seblak dipopulerkan warga Jawa Barat. “Jajanan seperti sempol, cilok, cireng, cimol, dan sebagainya juga banyak berjualan di Bojonegoro,” pungkasnya. 

Agung Widodo salah satu pemilik angkringan di Desa Campurejo menyajikan nasi bakar. Ada juga nasi kucing dengan lauk sambel teri, bali telor, serta pedo atau oseng ikan asin. Ia membuka angkringan setelah sebelumnya mengamati angkringan Jogjakarta.

Buka kala sore hingga tengah malam. Ragam kudapannya hingga 60 macam. Per malam bisa menghabiskan 180 bungkus, serta 50 bungkus nasi kucing.

BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Sepanjang mata memandang, beragam kudapan tersaji di atas gerobak. Kudapan itu tertata rapi. Rerata ragam kudapan itu dengan ditusuk. Nasi putihnya dibungkus. Ada juga nasi putih dibungkus daun pisang. Alat panggangnya berada di sudut gerobak.

Asap dari alat panggang mengepul pelan, satu per satu muda-mudi datang di salah satu angkringan kawasan Desa Campurejo, Kecamatan Kota, kemarin petang (28/1). Cahaya remang membersamai pengunjung dan orang-orang dari berbagai usia menyantap kudapan di angkringan. Memperhangat persaudaraan.

Budaya makan malam di tempat sederhana itu perlahan kembali dirindukan bagi masyarakat Bojonegoro. Angkringan pernah populer era tahun 2000-an, dan sempat redup. Akhir-akhir ini, budaya bersantap kuliner di angkringan kembali ramai.

Angkringan sudah pasti bukan budaya asli Bojonegoro. Sebaliknya, khas Jogjakarta. Jarak Bojonegoro dengan Jogjakarta sekitar 220 kilometer (km) ternyata cukup dekat ketika di depan angkringan ala Bojonegoro atau Jonegaran.

Joni Susanto pemerhati sejarah Bojonegoro mengatakan, angkringan mulai menjamur sejak 2000-an. Karena memang angkringan berasal dari kekhasan masyarakat Jogjakarta. Di Bojonegoro hanya warung-warung kopi biasa. Tapi kalau warung kopi dengan konsep atau nama kafe kali pertama pada 1995 silam, yakni kafe Katiga.

- Advertisement -

“Kalau angkringan baru tahun 2000 yang mana murni mengadopsi angkringan asal Jogjakarta,” tuturnya.

Angkringan sendiri berasal dari kata angkring yang artinya alat berjualan makanan dengan cara dipikul. Lalu berkembang, konsep angkringan menetap di satu tempat saja. Berisi ragam kudapan yang siap disantap atau bisa dibakar dulu biar hangat. Biasanya gandengannya nasi sambal porsi mungil atau bisa disebut nasi kucing.

Menurut Joni, ragam kudapan di Bojonegoro tidak sama persis dengan angkringan khas Jogjakarta. Angkringan di Bojonegoro kudapannya didominasi makanan beku. 

“Kalau di Jogjakarta kan banyak baceman, jeroan, dan sebagainya. Selain itu, ada kopi diseduh bareng dengan arang panas atau biasa disebut kopi jos,” bebernya.

Hadirnya angkringan di Bojonegoro tentunya imbas dari perkembangan zaman. Kemungkinan ada banyak warga Bojonegoro pulang dari perantauannya, lalu bikin bisnis angkringan. Sama halnya dengan semakin menjamur orang berjualan seblak. Berdasar data yang dihimpun Jawa Pos Radar Bojonegoro, seblak dipopulerkan warga Jawa Barat. “Jajanan seperti sempol, cilok, cireng, cimol, dan sebagainya juga banyak berjualan di Bojonegoro,” pungkasnya. 

Agung Widodo salah satu pemilik angkringan di Desa Campurejo menyajikan nasi bakar. Ada juga nasi kucing dengan lauk sambel teri, bali telor, serta pedo atau oseng ikan asin. Ia membuka angkringan setelah sebelumnya mengamati angkringan Jogjakarta.

Buka kala sore hingga tengah malam. Ragam kudapannya hingga 60 macam. Per malam bisa menghabiskan 180 bungkus, serta 50 bungkus nasi kucing.

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Suka Dengerin Musik Rock

Harga Kebutuhan Pokok Masih Stabil


/