BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang Omnibus Law inkonstitusional bersyarat. Sehingga, elemen buruh berharap putusan tersebut bisa menjadi acuan untuk penetapan upah minimum kabupaten (UMK) tidak menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021.
“Sudah ada putusan bahwa ada kesalahan dalam pembentukan omnibus law, sehingga peraturan turunannya PP 36 Tahun 2021 juga bermasalah,” ujar Ketua Cabang Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (RTMM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Anis Yulianti kemarin (25/11).
Anis menjelaskan, pihak buruh sudah dari awal melakukan penolakan. Sebab tidak dilibatkan dalam penetapan UU Omnibus Law. Dampaknya juga terjadi saat perubahan penghitungan upah menggunakan PP 36 Tahun 2021.
Tidak ada ruang negosiasi dengan pengusaha karena hasil nilai diambil dari data BPS. “Kami para buruh pasif, tidak bisa seperti dahulu ikut terjun survei di pasar untuk penetapan angka kebutuhan hidup layak,” terangnya.
Elemen buruh berharap kondisi tersebut, perlu mendapatkan perhatian dari pengambil kebijakan. Untuk mempertimbangkan penetapan UMK tahun depan. Ruang suara dari elemen buruh tidak dibatasi dengan terbitnya peraturan baru.
Katua Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Bojonegoro Amrozi mengatakan, dalam putusan MK tentang Omnibus Law, elemen buruh konsisten menolaknya.
Meskipun dalam putusan tersebut masih belum memenuhi tuntutan buruh, yakni revisi dengan batas waktu dua tahun. “Perjuangan buruh masih berlanjut, karena peraturan masih terus berjalan,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi Ketenagakerjaan Disperinaker Bojonegoro Rafiudin Fatoni menjelaskan, walaupun terdapat putusan MK, kebijakan UMK akan ditentukan pemerintah provinsi.
Sedangkan pemerintah daerah hanya mengusulkan dengan besaran penghitungan memakai PP 36/2021. (luk)
Keputusan MK Berharap Jadi Pertimbangan Penetapan UMK

BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan Undang-Undang Omnibus Law inkonstitusional bersyarat. Sehingga, elemen buruh berharap putusan tersebut bisa menjadi acuan untuk penetapan upah minimum kabupaten (UMK) tidak menggunakan PP Nomor 36 Tahun 2021.
“Sudah ada putusan bahwa ada kesalahan dalam pembentukan omnibus law, sehingga peraturan turunannya PP 36 Tahun 2021 juga bermasalah,” ujar Ketua Cabang Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (RTMM) Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Anis Yulianti kemarin (25/11).
Anis menjelaskan, pihak buruh sudah dari awal melakukan penolakan. Sebab tidak dilibatkan dalam penetapan UU Omnibus Law. Dampaknya juga terjadi saat perubahan penghitungan upah menggunakan PP 36 Tahun 2021.
Tidak ada ruang negosiasi dengan pengusaha karena hasil nilai diambil dari data BPS. “Kami para buruh pasif, tidak bisa seperti dahulu ikut terjun survei di pasar untuk penetapan angka kebutuhan hidup layak,” terangnya.
Elemen buruh berharap kondisi tersebut, perlu mendapatkan perhatian dari pengambil kebijakan. Untuk mempertimbangkan penetapan UMK tahun depan. Ruang suara dari elemen buruh tidak dibatasi dengan terbitnya peraturan baru.
Katua Serikat Buruh Muslim Indonesia (Sarbumusi) Bojonegoro Amrozi mengatakan, dalam putusan MK tentang Omnibus Law, elemen buruh konsisten menolaknya.
Meskipun dalam putusan tersebut masih belum memenuhi tuntutan buruh, yakni revisi dengan batas waktu dua tahun. “Perjuangan buruh masih berlanjut, karena peraturan masih terus berjalan,” tegasnya.
Sementara itu, Kasi Ketenagakerjaan Disperinaker Bojonegoro Rafiudin Fatoni menjelaskan, walaupun terdapat putusan MK, kebijakan UMK akan ditentukan pemerintah provinsi.
Sedangkan pemerintah daerah hanya mengusulkan dengan besaran penghitungan memakai PP 36/2021. (luk)