BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Gerimis Jumat (23/12) siang tidak menghalangi tawa pemuda sedang asyik bersenda gurau di depan gereja. Sebagian mulai masuk ke rumah ibadah tersebut, berjalan pelan menuju bangunan bertuliskan Gereja Katolik Santa Maria Kolong.
Salah seorang pemuda dengan cekatan menghiasi pintu masuk gereja dengan ornamen khas Natal. “Sebentar, saya panggilkan,” kata salah pemuda dengan sambutan senyum saat melihat Jawa Pos Radar Bojonegoro, tiba. Datanglah Yohanes Parlan. Lelaki paro baya tersebut dikenal sebagai ketua gereja.
Gereja berada jauh dari hiruk-pikuk deru kendaraan itu membutuhkan waktu tempuh satu jam dari pusat perkotaan Bojonegoro. Parlan, menyapa para pemuda mulai menghiasi gereja, karena akhirnya mereka bisa merayakan Natal dengan leluasa, setelah dua tahun terkurung pandemi.
Gereja berada di Dusun Kedungdowo, Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Bojonegoro, begitu menjaga toleransi. Hal tersebut bisa dilihat dari bangunan gereja, hanya berjarak 70 meter dari Masjid Al-Ihsan. Masjid kebanggan warga muslim di Desa Kolong.
Di tengah kedekatan umat berbeda agama tersebut, tidak pernah ada diskriminasi suku, agama, ras, antar-golongan (SARA) atau bahkan sampai kerusuhan. Masyarakat Desa Kolong cukup terbuka dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan. Terbukti, seringnya umat Katolik dan muslim membaur dan berkegiatan bersama.
Kebiasaan masyarakat praktik toleransi ini, ternyata sudah dipupuk awal dan turun temurun. Perintis Gereja Santa Maria yaitu FX Sukimin atau masyarakat Kolong menyebutnya “Mbah Danun”, sahabat dekat dari ketua takmir Masjid di Desa Kolong saat itu, yakni Sholikin.
“Keduanya sahabat karib dan satu usia. Sangat dekat meski berbeda keyakinan,” tutur Parlan diiringi langkah kaki menuju altar gereja.
Hal tersebut menjadi fondasi toleransi kuat pada masyarakat Desa Kolong. Terlebih umat Katolik di Desa Kolong begitu kental budaya Jawa. Terlihat ornamen dan seperangkat alat musik gamelan di dalam gereja.
Membuat Gereja tidak hanya sebagai tempat ibadah, namun juga pusat kesenian membaur ke dalam masyarakat. Praktik toleransi selama berpuluh-puluh tahun inilah yang membuat Desa Kolong sering kali dijuluki “the little Vatican in Indonesia” atau Vatikan kecil di Indonesia.
Hal sama dituturkan Ahmad Subekti, warga Desa Kolong yang beragama muslim. Ahmad menjelaskan, bahwa pihak gereja setiap Natal selalu mengundang warga bakti sosial, termasuk warga muslim. “Warga masih tetap kondusif di tengah perbedaan karena sudah terjadi lama,” tutur pria juga perangkat desa tersebut. (dan/rij)