TUBAN, Radar Tuban – Pernyataan kontroversi Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Tuban Sumardi terkait thak-thakan di Jawa Pos Radar Tuban edisi 23 November, ramai ditanggapi publik.
Banyak akun di media sosial (medsos) yang mem-posting ulang hingga viral. Sebagian besar warganet menulis kritik balik kepada Sumardi atas pernyataan kontroversialnya tersebut.
Salah satu yang mengunggah ulang berita tersebut adalah akun Instagram @info_tuban. Postingan tersebut hingga kemarin (24/11) pukul 17.00 mendapat 2.487 likes dan 116 komentar. Sebagian besar komentar menyayangkan pernyataan Sumardi yang dianggap tak layak diucapkan oleh seorang pejabat yang seharusnya mengayomi. ‘’Jika merasa kesenian tersebut kurang layak untuk ditampilkan harusnya sebelum tampil diberikan pembinaan dulu,’’ tulis akun @rzqluth96.
Kritik lain dilontarkan @puguhharianto. Dia menulis pernyataan tersebut harus dievaluasi. Sebab, dinas yang menaungi kesenian harusnya lebih peka, proaktif, dan peduli terhadap kegiatan seni. Dalam komentarnya, Puguh mengatakan bahwa kesenian bukan soal selera perseorangan, namun bagaimana cara mempertahankan esensi seni tersebut. ‘’Bagaimana mempertahankan seni budaya yang sudah berkembang di masyarakat supaya tidak punah dengan modernisasi zaman,’’ tulis dia yang diteruskan dengan tag Instagram bupati Lindra.
Tak hanya di medsos, Sumardi juga mendapat kritik dari pelaku thak-thakan. Kepada Jawa Pos Radar Tuban, Birawan selaku koordinator pementasan thak-thakan di Pendapa Krida Manunggal Tuban menyayangkan pernyataan seorang kabid kebudayaan tersebut. Dia mengatakan, sebagai pejabat yang menaungi seharusnya lebih arif dan bijak. ‘’Jika dianggap kurang layak seharusnya dibina dan diarahkan. Jangan langsung mematahkan semangat teman-teman pelaku seni,’’ ucap dia kecewa.
Pelaku seni asal Desa Kenanti, Kecamatan Tambakboyo ini mengatakan, thak-thakan adalah produk kesenian rakyat. Pertunjukan tersebut selama ini menjadi hiburan bagi masyarakat. Kesenian ini sempat vakum karena minimnya masyarakat yang mengundang. ‘’Saat pelaku thak-thakan mulai merasa dihargai karena diundang ke pendapa, justru malah dikomentari kurang bijak oleh pejabatnya,’’ kata dia.
Birawan kemudian menjelaskan seputar thak-thakan. Dia mengatakan, thak-thakan menceritakan alur cerita empat karakter. Menggambarkan anjing, genderuwo, kirik gigik, dan thak-thakan.
Anjing adalah hewan yang menggambarkan setia dan pemberi sinyal bahaya. Sementara genderuwo melambangkan makhluk halus yang usil atau jahit. Kedua karakter ini sering berselisih paham. Perselisihan mereka sering disampaikan oleh kirik gigik kepada thak-thakan selaku pamong.
Kedatangan thak-thakan itulah yang membawa kedamaian antara anjing dan genderuwo. Mereka selanjutnya sama-sama menikmati alunan musik gamelan sambil bergoyang bersama. Menurut Birawan, pertunjukan rakyat ini sarat makna filosofis. ‘’Kalau memang harus menampilkan pertunjukan yang lebih enak dinikmati, monggo kami diarahkan harus seperti apa agar thak-thakan ini lebih mengikuti perkembangan zaman,’’ tuturnya.
Terkait permintaan menghilangkan metafisika atau adegan kesurupan dalam thak-thakan, menurut Birawan, hal itu sulit dilakukan. Dia mengatakan, kesurupan adalah proses alam bawah sadar dari para pelaku kesenian. Seperti halnya jaranan, sandur, barongan, dan kesenian serupa yang melibatkan makhluk alam gaib. ‘’Jika adegan kesurupan dihilangkan mungkin tidak bisa, tapi masih bisa diarahkan layaknya sandur itu juga masih ada kesurupan, tapi diarahkan ke adegan yang tertata,’’ ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Kabid Kebudayaan Disparbudpora Tuban Sumardi membuat pernyataan kontroversi. Dia mengatakan, thak-thakan, kesenian khas Tambakboyo kurang layak ditampilkan karena tidak sesuai perkembangan zaman. Sumardi juga menilai penampilannya tidak etis.
Sumardi yang melihat langsung penampilannya di Pekan Kebudayaan Daerah di Pendapa Krido Manunggal Tuban, Selasa (9/11) menyampaikan kekecewaannya.
Dia mengemukakan, dari segi artistik, pola lantai, dan adegan-adegan yang ditampilkan sangat kurang. ”Saya kesulitan mencari di mana letak seninya,” kritiknya.
Kabid Kebudayaan Sumardi Banjir Kritik

TUBAN, Radar Tuban – Pernyataan kontroversi Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata Kebudayaan Pemuda dan Olahraga (Disparbudpora) Tuban Sumardi terkait thak-thakan di Jawa Pos Radar Tuban edisi 23 November, ramai ditanggapi publik.
Banyak akun di media sosial (medsos) yang mem-posting ulang hingga viral. Sebagian besar warganet menulis kritik balik kepada Sumardi atas pernyataan kontroversialnya tersebut.
Salah satu yang mengunggah ulang berita tersebut adalah akun Instagram @info_tuban. Postingan tersebut hingga kemarin (24/11) pukul 17.00 mendapat 2.487 likes dan 116 komentar. Sebagian besar komentar menyayangkan pernyataan Sumardi yang dianggap tak layak diucapkan oleh seorang pejabat yang seharusnya mengayomi. ‘’Jika merasa kesenian tersebut kurang layak untuk ditampilkan harusnya sebelum tampil diberikan pembinaan dulu,’’ tulis akun @rzqluth96.
Kritik lain dilontarkan @puguhharianto. Dia menulis pernyataan tersebut harus dievaluasi. Sebab, dinas yang menaungi kesenian harusnya lebih peka, proaktif, dan peduli terhadap kegiatan seni. Dalam komentarnya, Puguh mengatakan bahwa kesenian bukan soal selera perseorangan, namun bagaimana cara mempertahankan esensi seni tersebut. ‘’Bagaimana mempertahankan seni budaya yang sudah berkembang di masyarakat supaya tidak punah dengan modernisasi zaman,’’ tulis dia yang diteruskan dengan tag Instagram bupati Lindra.
Tak hanya di medsos, Sumardi juga mendapat kritik dari pelaku thak-thakan. Kepada Jawa Pos Radar Tuban, Birawan selaku koordinator pementasan thak-thakan di Pendapa Krida Manunggal Tuban menyayangkan pernyataan seorang kabid kebudayaan tersebut. Dia mengatakan, sebagai pejabat yang menaungi seharusnya lebih arif dan bijak. ‘’Jika dianggap kurang layak seharusnya dibina dan diarahkan. Jangan langsung mematahkan semangat teman-teman pelaku seni,’’ ucap dia kecewa.
Pelaku seni asal Desa Kenanti, Kecamatan Tambakboyo ini mengatakan, thak-thakan adalah produk kesenian rakyat. Pertunjukan tersebut selama ini menjadi hiburan bagi masyarakat. Kesenian ini sempat vakum karena minimnya masyarakat yang mengundang. ‘’Saat pelaku thak-thakan mulai merasa dihargai karena diundang ke pendapa, justru malah dikomentari kurang bijak oleh pejabatnya,’’ kata dia.
Birawan kemudian menjelaskan seputar thak-thakan. Dia mengatakan, thak-thakan menceritakan alur cerita empat karakter. Menggambarkan anjing, genderuwo, kirik gigik, dan thak-thakan.
Anjing adalah hewan yang menggambarkan setia dan pemberi sinyal bahaya. Sementara genderuwo melambangkan makhluk halus yang usil atau jahit. Kedua karakter ini sering berselisih paham. Perselisihan mereka sering disampaikan oleh kirik gigik kepada thak-thakan selaku pamong.
Kedatangan thak-thakan itulah yang membawa kedamaian antara anjing dan genderuwo. Mereka selanjutnya sama-sama menikmati alunan musik gamelan sambil bergoyang bersama. Menurut Birawan, pertunjukan rakyat ini sarat makna filosofis. ‘’Kalau memang harus menampilkan pertunjukan yang lebih enak dinikmati, monggo kami diarahkan harus seperti apa agar thak-thakan ini lebih mengikuti perkembangan zaman,’’ tuturnya.
Terkait permintaan menghilangkan metafisika atau adegan kesurupan dalam thak-thakan, menurut Birawan, hal itu sulit dilakukan. Dia mengatakan, kesurupan adalah proses alam bawah sadar dari para pelaku kesenian. Seperti halnya jaranan, sandur, barongan, dan kesenian serupa yang melibatkan makhluk alam gaib. ‘’Jika adegan kesurupan dihilangkan mungkin tidak bisa, tapi masih bisa diarahkan layaknya sandur itu juga masih ada kesurupan, tapi diarahkan ke adegan yang tertata,’’ ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, Kabid Kebudayaan Disparbudpora Tuban Sumardi membuat pernyataan kontroversi. Dia mengatakan, thak-thakan, kesenian khas Tambakboyo kurang layak ditampilkan karena tidak sesuai perkembangan zaman. Sumardi juga menilai penampilannya tidak etis.
Sumardi yang melihat langsung penampilannya di Pekan Kebudayaan Daerah di Pendapa Krido Manunggal Tuban, Selasa (9/11) menyampaikan kekecewaannya.
Dia mengemukakan, dari segi artistik, pola lantai, dan adegan-adegan yang ditampilkan sangat kurang. ”Saya kesulitan mencari di mana letak seninya,” kritiknya.