”Kami menilai raperda PPA ini ada kelemahan dari sisi formil maupun materiil,’’
Nafidatul Himah, Perwakilan APPA
”Semisal raperdanya dipisah antara perlindungan perempuan dan perlindungan anak dibuat sendiri-sendiri juga tidak ada masalah,” tuturnya.
Sutikno, Ketua Bapemperda DPRD Bojonegoro
BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Nasib rancangan peraturan daerah (raperda) perlindungan perempuan dan anak (PPA) kecil kemungkinan disahkan tahun ini. Karena tahapannya masih berupa draf dari hasil focus group discussion (FGD). Sehingga belum di tahap penyampaian nota penjelasan raperda PPA oleh pengusul yakni Komisi C DPRD Bojonegoro.
Badan pembentukan perda (bapemperda) DPRD pun mengundang perwakilan dari Aliansi Peduli Perempuan dan Anak (APPA), Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB), Unigoro, dan Pengadilan Agama (PA) Bojonegoro pada Jumat lalu (21/10). Perwakilan APPA Nafidatul Himah menegaskan, bahwa raperda PPA wajib dikaji ulang.
“Kami menilai raperda PPA ini ada kelemahan dari sisi formil maupun materiil. Jadi, jangan sampai tergesa-gesa disahkan yang mana nantinya justru hanya menjadi macan kertas,” tegasnya.
Himah mengatakan, konten draf raperda PPA terlalu luas dan umum. Seharusnya raperda PPA fokus membahas tentang upaya pencegahan, perlindungan, dan tindakan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Urgensi raperda PPA tentu tinggi, dinilai Bojonegoro sudah darurat kekerasan perempuan dan anak.
“Kasus kekerasan perempuan dan anak tiap tahunnya tidak sedikit. Apakah menunggu kasusnya lebih banyak lagi baru ada perhatian terkait raperda PPA? Karena itu, kami ingin raperda PPA ini bisa memberikan perlindungan secara optimal,” katanya.
Anggota Bapemperda Donny Bayu Setiawan menjelaskan, bahwa DPRD serius dalam merumuskan raperda PPA. “Mengingat raperda PPA ini masih kami pertahankan masuk ke dalam propemperda 2022, karena pengawalan dari APPA juga serius,” tegasnya.
Namun dinamikanya memang perlu ada upaya draf raperda PPA ini mampu menyentuh berbagai permasalahan terkait perlindungan perempuan dan anak. Sehingga perlindungan hukumnya ini jelas. “Contohnya peran satgas PPA ini butuh payung hukum. Sehingga kinerjanya di lapangan bisa terlindungi. Karena keluhannya jumlah satgas PPA ini sudah banyak, tapi kok kasusnya masih tinggi,” terangnya. (bgs/msu)