BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – APBD Bojonegoro 2022 yang besar menembus Rp 7 triliun ternyata belum berimbas mengerek daya beli masyarakat. Justru, laju pertumbuhan pengeluaran per kapita riil 2022, Bojonegoro menempati urutan buncit dari 38 kota/kabupaten di Jawa Timur.
Pengeluaran per kapita riil yang disesuaikan pada 2022, hanya naik Rp 102 ribu per tahun dibanding tahun sebelumnya. Tahun ini Rp 10,323 juta, sedangkan 2021 pengeluaran per kapita Rp 10,221 juta per tahun.
Pertumbuhan yang lambat tersebut dipengaruhi pendapatan masyarakat yang rendah. Juga, harga kebutuhan pokok di Bojonegoro tergolong rendah dan pola konsumsi tak banyak variasi.
Mifta Hulaikah akademisi ekonomi Bojonegoro mengatakan, penyebab pengeluaran per kapita riil disesuaikan rendah karena pendapatan rendah. Tentu bisa berkaitan dengan produk domestik regional bruto (PDRB).
Menurut dia, perlu evaluasi program pemerintah berkaitan dengan ekonomi. Termasuk bantuan modal untuk masyarakat efektif atau tidak. “Jadi tetap dilakukan monitoring (program),” jelasnya kemarin.
Dosen Ekonomi Pembangunan Ekonomi Universitas Bojonegoro Saiful Anam mengatakan, butuh kajian mendalam terkait faktor penyebab pengeluaran per kapita riil rendah. Terlebih indikator menentukan pengeluaran bukan hanya kemiskinan, namun terdapat banyak faktor lain. “Semisal pertumbuhan penduduk,” ujarnya.
Anggota Komisi B DPRD Bojonegoro Lasuri mengatakan, agar daya beli masyarakat naik tentu selaras dengan pendapatan penduduk. Apabila masih tinggi angka kemiskinannya, tentu berdampak pada daya beli masyarakat yang rendah.
Mengingat Bojonegoro bukan daerah penyangga ibukota Provinsi Jawa Timur. Jadi otomatis Pemkab Bojonegoro harus lebih andal mencari terobosan program benar-benar tepat sasaran.
Statistisi Ahli Muda Badan Pusat Statistik (BPS) Bojonegoro Kurnia Novi mengatakan, terdapat beberapa faktor memengaruhi pengeluaran per kapita riil disesuaikan. Seperti pendapatan masyarakat yang rendah. Juga, daya beli masyarakat. “Namun pengaruhnya sedikit,” ujarnya kemarin.
Faktor lainnya disebabkan harga kebutuhan pokok di Bojonegoro tergolong murah jika dibanding kota/kabupaten lain. Juga, jenis konsumsi tidak telalu bervariasi, sehingga tidak mendorong peningkatan pengeluaran dari rumah tangga.
Terkait pertumbuhan yang rendah dibanding kota dan kabupaten lain, Kurnia mengaku berhubungan dengan pola konsumsi masyarakat yang tidak berubah dari tahun lalu. “Masih berkutat dengan harga dan jenis konsumsi,” ungkapnya. (irv/bgs/rij)