RUDY Susanto, 38, tidak pernah membayangkan bakal menjadi atlet biliar. Dengan bakat yang dimiliki, dia tumbuh secara alami menjadi atlet bola sodok profesional. Dibutuhkan perjuangan panjang nan melelahkan untuk meraih banyak medali. Berikut wawancara Jawa Pos Radar Tuban dengan atlet biliar asal Tuban yang sukses mempersembahkan medali emas dan perunggu untuk kontingen Jawa Timur pada PON XX Papua 2020.
Apa kabar, Mas?
Baik…
Selamat atas dua medali yang berhasil Anda raih. (Medali perunggu di nomor double 8 ball dan medali emas di nomor ganda putra 9 ball). Ini sungguh prestasi luar biasa.
Terima kasih, ini semua berkat dukungan dan doa seluruh masyarakat Tuban.
Sejak kapan Anda bermain biliar?
Pastinya lupa. Sejak SD, saya sudah sering diajak Papa main biliar. Dan, saat SMP sudah sering main biliar.
Kalau mulai profesional sejak kapan?
Kalau mulai profesional usia 23 tahun. Saat itu, saya sekolah biliar di Surabaya. Yang awalnya harus membayar kemudian dapat beasiswa. Ceritanya, saat itu ada pertandingan biliar. Sebagai murid baru, saya diminta ikut lomba. Dan, ternyata saya meraih juara. Dari situ, yang awalnya harus membayar malah dapat beasiswa. Itulah awal saya menuju profesional. Tapi, sebelum itu panjang sekali perjuangan yang saya lalui. Dan, semua itu tidak mudah. Benar-benar berat.
Bisa diceritakan perjalanan panjang dan tantangan yang harus Anda lalui sebelum menjadi atlet profesional.
Secara bakat (biliar), saya memang memiliki. Mungkin bakat biliar ini dari Papa. Tapi, bakat saja ternyata tidak cukup. Selama sekolah biliar itu, oleh pelatih saya didik dengan sangat keras. Mulai teknik, disiplin, hingga mental.
Tidak jarang, saya dibentak, ditampar, dan disiram air oleh pelatih karena saya tergolong malas berlatih. Dan, itu berlangsung kurang lebih sembilan bulan. Bahkan, saya sempat putus asa. Dari didikan yang sangat keras itu akhirnya saya mulai terbentuk. Hingga akhirnya satu per satu atlet di Jawa Timur yang sudah tingkat nasional bisa saya kalahnya. Semua itu berkat pelatih saya. Saya disuruh mencatat semua atlet di Jawa Timur yang sudah tingkat nasional untuk dijadikan lawan. Kurang lebih ada 12 atlet. Dan, satu per satu berhasil saya kalahkan.
Sejak profesional sampai sekarang. Sudah berapa piala dan medali yang berhasil Anda raih?
Sudah tidak terhitung. Banyak sekali. Mulai tingkat regional, nasional, hingga internasional. Perunggu, perak, emas. Kalau ditanya berapa (medali)? Saya tidak ingat, saking banyaknya.
Dari cerita perjalanan panjang Anda sebelum menjadi atlet profesional hingga berhasil mempersembahkan banyak medali, sepertinya proses panjang itu benar-benar dari diri sendiri. Tidak dari pembinaan yang dilakukan pemerintah daerah.
Atlet itu baru dilirik setelah berprestasi. Mereka (pemangku kepentingan di bidang olahraga) mana ada yang tahu proses panjang saya menjadi atlet. Perjalanan saya ke mana saja. Tidak ada yang tahu. Oh, tahu-tahu saya sudah dapat medali kemudian baru dilirik.
Anda saat ini sudah berusia 38 tahun. Bagaimana Anda melihat regenerasi atlet biliar di Tuban?
Sedih. Minim pembinaan dan minim sarana latihan. Padahal, pembinaan dan sarana latihan khusus itu sangat penting. Sebenarnya potensi menjadi atlet itu ada. Banyak. Sayangnya, pembinaan atlet-atlet di Tuban ini masih belum maksimal. Ya, tadi itu. Atlet baru dilirik setelah berprestasi. Sementara untuk berlatih saja biayanya mahal sekali. Iya kalau mereka memiliki uang, kalau tidak. Ya, sampai kapan pun bakatnya tidak akan berkembang.
Saya melihat atlet biliar banyak yang belum melirik. Apakah karena menjadi atlet biliar tidak menjanjikan?
Kata siapa? Biliar itu saingannya dengan bulu tangkis. Hadiahnya luar biasa besar, minimal Rp 40 juta. Hadiah turnamen biliar itu sama seperti super seriesnya bulu tangkis. Biliar itu olahraga mahal.
Tidak sedikit masyarakat Tuban masih mencitrakan biliar sebagai olahraga negatif. Anda merasakan itu?
Iya, saya merasa biliar ini masih dianggap sebagai olahraga negatif. Mungkin karena ada taruhannya dan ceweknya itu, ya. Tapi, kalau sudah profesional tidak seperti itu. Menurut saya, biliar ini cabang olahraga yang menjanjikan jika diseriusi. Ada duitnya, kok. Soal image negatif, saya yakin pelan-pelan akan hilang jika banyak atlet biliar yang berprestasi.
Kita tahu, sebelum menerima bonus dari pemkab dan KONI, beberapa waktu lalu atlet lompat galah Teuku Tegar sempat viral karena merasa tidak diperhatikan. Apa yang menjadi harapan teman-teman atlet biliar?
Sebenarnya sederhana; perhatian. Atlet-atlet itu sering resah karena tidak memiliki profesi (pekerjaan) yang pasti. Sementara menjadi atlet masih belum dianggap sebagai sandang dan pangan yang menjanjikan. Saya kasihan juga terkadang sama teman-teman. Hampir rata-rata berharap dapat pekerjaan yang layak. Kalau ingin memberikan perhatian kepada atlet, kasih dong mereka (para atlet) posisi-posisi (pekerjaan di pemerintahan) yang itu sesuai dengan bidangnya. Bisa jadi pelatih, guru atau yang lain. Minimal menjadi bagian dari pemerintah daerah.
Lantas?
Atlet itu baru digaji kalau masuk puslatda. Kalau tidak ada puslatda, ya tidak ada gaji. Kan, kasihan. Sementara mereka menjadi atlet itu membawa nama daerahnya. Intinya itu pemerintah daerah harus memberikan perhatian penuh kepada atlet-atlet. Dan, ini hanya soal komitmen saja.
Apakah keresahan semacam ini juga pernah Anda rasakah?
Pernah…
Ketika profesi atlet dianggap belum menjanjikan. Apa pesan Anda kepada atlet-atlet muda?
Kalau memang serius ingin menjadi atlet, maka jangan setengah-setengah. Minimal harus berprestasi di tingkat provinsi. Kalau di tingkat provinsi perhatiannya sudah beda. Apalagi kalau bisa prestasi di tingkat nasional. Saat ini, atlet di tingkat nasional sangat diperhatikan. Intinya, kalau ingin menjadi atlet harus totalitas. Jangan setengah-setengah. Percaya, hasil tidak akan mengkhianati proses.