- Advertisement -
BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Ekonomi kreatif (ekraf) kesulitan mencari tenaga kerja dalam mengembangan usaha. Serta, terkendala bidang pemasaran. Pemerintah diminta hadir untuk mencarikan solusi.
‘’Masalah sumber daya manusia (SDM) ini karena rerata masyarakat desa ingin anaknya bekerja di pabrik setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) sederajat,” kata pelaku usaha ekonomi kreatif, Adib Nurdiyanto kemarin (19/2).
Anggapan orang tua terhadap anak lebih baik bekerja di pabrik setelah lulus SMA masih melekat masyarakat desa. Membuat anak tidak tertarik di bidang usaha ekonomi kreatif. ‘’Kalau sudah masuk pabrik selamat tiga bulan kan bisa mengangsur motor. Sudah bisa beli barang dilihat orang tuanya,” ujar pria pendiri sekaligus ketua Creative Economy Center (CEC) tersebut.
- Advertisement -
Menurutnya, pemasaran juga penting dalam mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Bisa dengan digital marketing hingga bentuk kemasan.
‘’Juga, tergantung segmen pasar. Ada tiga kategori,” katanya.
Menurut Riani pelaku usaha ekraf kuliner, hambatan dan tantangan dialaminya terkait bidang usaha serupa. ‘’Saingan ketat. Harus mengikuti perkembangan seperti media sosial online,” katanya.
Sementara, Kepala Bidang Ekraf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dibudpar) Bojonegoro Eko Subiyono mengatakan, ekraf mengalami kendala di pemasaran. ‘’Pelaku dan produknya ada, namun bagaimana menjualnya ini menjadi fokus (pemasaran),” katanya. Sehingga membuka wadah di tempat pariwisata yakni toko-toko untuk menyediakan produk lokal. Bukan pabrikan. Seperti tape ketan dan keripik girut.
‘’Melakukan pelatihan terkait pemasaran. Misalnya pemasaran melalui digital,” klaimnya. Eko pun melanjutkan, saat ini telah banyak berkembang pelaku usaha ekraf beserta produknya. Satu pelaku usaha bisa memiliki lebih dari tiga jenis produk. (yna/msu)
BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Ekonomi kreatif (ekraf) kesulitan mencari tenaga kerja dalam mengembangan usaha. Serta, terkendala bidang pemasaran. Pemerintah diminta hadir untuk mencarikan solusi.
‘’Masalah sumber daya manusia (SDM) ini karena rerata masyarakat desa ingin anaknya bekerja di pabrik setelah lulus sekolah menengah pertama (SMP) sederajat,” kata pelaku usaha ekonomi kreatif, Adib Nurdiyanto kemarin (19/2).
Anggapan orang tua terhadap anak lebih baik bekerja di pabrik setelah lulus SMA masih melekat masyarakat desa. Membuat anak tidak tertarik di bidang usaha ekonomi kreatif. ‘’Kalau sudah masuk pabrik selamat tiga bulan kan bisa mengangsur motor. Sudah bisa beli barang dilihat orang tuanya,” ujar pria pendiri sekaligus ketua Creative Economy Center (CEC) tersebut.
- Advertisement -
Menurutnya, pemasaran juga penting dalam mengembangkan usaha ekonomi kreatif. Bisa dengan digital marketing hingga bentuk kemasan.
‘’Juga, tergantung segmen pasar. Ada tiga kategori,” katanya.
Menurut Riani pelaku usaha ekraf kuliner, hambatan dan tantangan dialaminya terkait bidang usaha serupa. ‘’Saingan ketat. Harus mengikuti perkembangan seperti media sosial online,” katanya.
Sementara, Kepala Bidang Ekraf Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Dibudpar) Bojonegoro Eko Subiyono mengatakan, ekraf mengalami kendala di pemasaran. ‘’Pelaku dan produknya ada, namun bagaimana menjualnya ini menjadi fokus (pemasaran),” katanya. Sehingga membuka wadah di tempat pariwisata yakni toko-toko untuk menyediakan produk lokal. Bukan pabrikan. Seperti tape ketan dan keripik girut.
‘’Melakukan pelatihan terkait pemasaran. Misalnya pemasaran melalui digital,” klaimnya. Eko pun melanjutkan, saat ini telah banyak berkembang pelaku usaha ekraf beserta produknya. Satu pelaku usaha bisa memiliki lebih dari tiga jenis produk. (yna/msu)