31.6 C
Bojonegoro
Sunday, June 4, 2023

Tukar Guling yang Menabur Ancaman Bencana

- Advertisement -

TUBAN, Radar Tuban – Masyarakat Tuban paling dirugikan atas tukar guling 126 hektare (ha) Hutan Jati Peteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan lahan seluas 269 ha di Glenmor, Banyuwangi. Bencana banjir hingga krisis air tanah pun mengancam Bumi Wali.
Pandangan tersebut disampaikan  Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI) Ali Baharudin. “Sebab yang kehilangan lahan hutan itu Tuban, bukan Banyuwangi,” tegasnya etika dikonfirmasi  Jawa Pos Radar Tuban kemarin (18/11).
Menurut dia, lebih tepat jika lahan hutan pengganti untuk pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) tersebut di Bumi Ronggolawe.
Ali, panggilan akrabnya mengatakan, kesepakatan tukar guling lahan hutan tersebut memang tidak menyalahi regulasi. Namun, dari sisi kerugian jelas Tuban yang dikorbankan. Karena konsekuensi dari  deforestasi atau perubahan permanen lahan hutan tersebut mengakibatkan luas hutan di Tuban mengalami penurunan, ekologi mengalami kerusakan, dan potensi diterjang bencana pun muncul. “Seluruh kerugian tersebut yang menerima Tuban, bukan tempat lain,” kritik aktivis lingkungan itu.
Meski Hutan Jati Peteng lokasinya berada di dataran rendah, kata Ali, bencana yang timbul tetap sama buruknya dengan hutan di dataran tinggi. Terkait dampak kerusakan tersebut, dia menjelaskan, hutan di dataran rendah berfungsi sebagai pelindung muka bumi. Artinya, pepohonan yang tumbuh di hutan adalah selimut bagi bumi dan berperan mencegah bencana alam, seperti badai atau angin kencang.  “Jika pepohonan itu hilang, praktis badai tidak ada yang menghalau,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Ali, deforestasi berpotensi
mendatangkan banjir. Bencana musiman tersebut bisa menyambangi wilayah pemukiman sekitar hutan yang berubah fungsi. Pemicunya, lenyapnya fungsi hutan sebagai daerah resapan air.
Peran akar pepohonan di hutan, tegas Ali, sangat vital dalam mengonversi air hujan menjadi air tanah. Jika air hujan tidak diserap dan dikonversi, niscaya banjir akan terjadi. ”Saat ini, daya serap air di Tuban terus berkurang dari waktu ke waktu,” ujar pria yang tinggal di Plumpang, Tuban itu.   
Ali berharap, ke depan tukar guling lahan hutan tidak berada di kabupaten lain.
Lebih lanjut Ali berharap agar PT Pertamina Rosneft dan Petrokimia membuka diri. Artinya, segala dampak baik dan buruk yang timbul akibat deforestasi untuk proyek GRR harus dipaparkan ke publlik. Dengan demikian, publik mengetahui kelanjutannya. “Perpenting, strategi pasca deforestasi ini seperti apa?” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik Tuban Riza Shalihuddin tak kalah pedas dalam menyoroti penebangan 40.000 pohon di Hutan Jati Peteng tersebut. Dia mengatakan, hal itu menjadi tanda bahwa pejabat pemangku kebijakan tidak hadir dalam isu lingkungan di Tuban. Menurutnya bagaimana pun caranya hal seperti itu seharusnya dievaluasi, bahkan dicegah.
Gus Riza, panggilan akrabnya tidak berharap karena industrialisasi, alam dikorbankan. “Harap dipikirkan juga nasib generasi selanjutnya, anak-cucu kita,” tuturnya.
Pengasuh Ponpes Ashomadiyah Tuban ini menyampaikan, pembangunan industri seharusnya bercermin kepada etik lingkungan. Industrialisasi jangan hanya menggunakan regulasi semata. Di luar regulasi,  juga ada hal-hal yang wajib dipertimbangkan.
Gus Riza memandang baik banyak industri besar berdiri di Tuban. Dengan hadirnya industri-industri berskala besar tersebut, potensi kesejahteraan masyarakat meningkat.
Konfirmasi wartawan koran ini terkait ancaman problem lingkungan tersebut, Presiden Direktur PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia Kadek Ambara Jaya enggan berkomentar.  Dia hanya menyampaikan terima kasih atas pemberitaan tersebut. Selanjutnya, dia menyerahkan konfirmasi lebih lanjut ke divisi yang memimpin pembersihan lahan. ”Sekarang sudah ada pejabat yang mengurus lahan dan pekerjaan di lapangan,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya,  Hutan Jati Peteng kini tak lagi gelap. Itu setelah ribuan pohonnya ditebang untuk pembangunan kilang minyak GRR. Itu artinya proyek Pertamina Rosneft dan Petrokimia tersebut menyumbangkan deforestasi tersebut untuk kerusakan kawasan paru-paru Tuban.  
Kepala Sub Seksi Hukum Kepatutan dan Komunikasi Perusahaan Kesatuan Pemangku Hutuan (KPH) Tuban Tole Abdul Suryadi mengungkapkan, total jumlah pohon yang ditebang sekitar 40.000 pada area hutan seluas 126 hektare. (sab)

TUBAN, Radar Tuban – Masyarakat Tuban paling dirugikan atas tukar guling 126 hektare (ha) Hutan Jati Peteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan lahan seluas 269 ha di Glenmor, Banyuwangi. Bencana banjir hingga krisis air tanah pun mengancam Bumi Wali.
Pandangan tersebut disampaikan  Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI) Ali Baharudin. “Sebab yang kehilangan lahan hutan itu Tuban, bukan Banyuwangi,” tegasnya etika dikonfirmasi  Jawa Pos Radar Tuban kemarin (18/11).
Menurut dia, lebih tepat jika lahan hutan pengganti untuk pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) tersebut di Bumi Ronggolawe.
Ali, panggilan akrabnya mengatakan, kesepakatan tukar guling lahan hutan tersebut memang tidak menyalahi regulasi. Namun, dari sisi kerugian jelas Tuban yang dikorbankan. Karena konsekuensi dari  deforestasi atau perubahan permanen lahan hutan tersebut mengakibatkan luas hutan di Tuban mengalami penurunan, ekologi mengalami kerusakan, dan potensi diterjang bencana pun muncul. “Seluruh kerugian tersebut yang menerima Tuban, bukan tempat lain,” kritik aktivis lingkungan itu.
Meski Hutan Jati Peteng lokasinya berada di dataran rendah, kata Ali, bencana yang timbul tetap sama buruknya dengan hutan di dataran tinggi. Terkait dampak kerusakan tersebut, dia menjelaskan, hutan di dataran rendah berfungsi sebagai pelindung muka bumi. Artinya, pepohonan yang tumbuh di hutan adalah selimut bagi bumi dan berperan mencegah bencana alam, seperti badai atau angin kencang.  “Jika pepohonan itu hilang, praktis badai tidak ada yang menghalau,” tegasnya.
Selain itu, lanjut Ali, deforestasi berpotensi
mendatangkan banjir. Bencana musiman tersebut bisa menyambangi wilayah pemukiman sekitar hutan yang berubah fungsi. Pemicunya, lenyapnya fungsi hutan sebagai daerah resapan air.
Peran akar pepohonan di hutan, tegas Ali, sangat vital dalam mengonversi air hujan menjadi air tanah. Jika air hujan tidak diserap dan dikonversi, niscaya banjir akan terjadi. ”Saat ini, daya serap air di Tuban terus berkurang dari waktu ke waktu,” ujar pria yang tinggal di Plumpang, Tuban itu.   
Ali berharap, ke depan tukar guling lahan hutan tidak berada di kabupaten lain.
Lebih lanjut Ali berharap agar PT Pertamina Rosneft dan Petrokimia membuka diri. Artinya, segala dampak baik dan buruk yang timbul akibat deforestasi untuk proyek GRR harus dipaparkan ke publlik. Dengan demikian, publik mengetahui kelanjutannya. “Perpenting, strategi pasca deforestasi ini seperti apa?” ujarnya.
Pengamat kebijakan publik Tuban Riza Shalihuddin tak kalah pedas dalam menyoroti penebangan 40.000 pohon di Hutan Jati Peteng tersebut. Dia mengatakan, hal itu menjadi tanda bahwa pejabat pemangku kebijakan tidak hadir dalam isu lingkungan di Tuban. Menurutnya bagaimana pun caranya hal seperti itu seharusnya dievaluasi, bahkan dicegah.
Gus Riza, panggilan akrabnya tidak berharap karena industrialisasi, alam dikorbankan. “Harap dipikirkan juga nasib generasi selanjutnya, anak-cucu kita,” tuturnya.
Pengasuh Ponpes Ashomadiyah Tuban ini menyampaikan, pembangunan industri seharusnya bercermin kepada etik lingkungan. Industrialisasi jangan hanya menggunakan regulasi semata. Di luar regulasi,  juga ada hal-hal yang wajib dipertimbangkan.
Gus Riza memandang baik banyak industri besar berdiri di Tuban. Dengan hadirnya industri-industri berskala besar tersebut, potensi kesejahteraan masyarakat meningkat.
Konfirmasi wartawan koran ini terkait ancaman problem lingkungan tersebut, Presiden Direktur PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia Kadek Ambara Jaya enggan berkomentar.  Dia hanya menyampaikan terima kasih atas pemberitaan tersebut. Selanjutnya, dia menyerahkan konfirmasi lebih lanjut ke divisi yang memimpin pembersihan lahan. ”Sekarang sudah ada pejabat yang mengurus lahan dan pekerjaan di lapangan,” tuturnya.
Diberitakan sebelumnya,  Hutan Jati Peteng kini tak lagi gelap. Itu setelah ribuan pohonnya ditebang untuk pembangunan kilang minyak GRR. Itu artinya proyek Pertamina Rosneft dan Petrokimia tersebut menyumbangkan deforestasi tersebut untuk kerusakan kawasan paru-paru Tuban.  
Kepala Sub Seksi Hukum Kepatutan dan Komunikasi Perusahaan Kesatuan Pemangku Hutuan (KPH) Tuban Tole Abdul Suryadi mengungkapkan, total jumlah pohon yang ditebang sekitar 40.000 pada area hutan seluas 126 hektare. (sab)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/