TUBAN, Radar Tuban – PT Pertamina kembali dihadapkan pada kasus hukum terkait pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) di Jenu. Setelah tukar guling Hutan Jatipeteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan lahan penggantinya di Glenmor, Banyuwangi dianggap cacat hukum dan digugat masyarakat setempat, kini yang dihadapi PT Drymix. Salah satu industri semen di Kabupaten Tuban tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Tuban terkait terganggunya operasional perusahaannya oleh proyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia.
Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, Humas Pengadilan Negeri (PN) Tuban Uzan Purwadi mengatakan, gugatan tersebut diterima Pengadilan Negeri (PN) Tuban, Kamis (9/12). Nomor perkaranya 39/Pdt.G/2021/PN Tbn.
Uzan sapaan akrabnya menerangkan, Drymix menggugat Pertamina karena memicu terganggunya operasional perusahaan oleh proyek kilang minyak GRR PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia. Gangguan dimaksud adalah dibatasinya akses jalan Drymix. ”Rekan industri mereka (Drymix, Red) tak bisa beroperasi,” jelasnya. Hakim asal Sleman, Yogyakarta ini mengatakan, akses jalan yang tertutup kegiatan proyek kilang minyak GRR lokasinya di Desa Wadung, Kecamatan Jenu. Uzan menyampaikan, sidang perdana gugatan tersebut diagendakan digelar pada Kamis (30/12).
Dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Drymix Antonius Yudo Prihartono membenarkan hal tersebut. Dia mengatakan, pembatasan akses jalan Drymix oleh Pertamina merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam gugatannya, dia menuntut tiga pihak. Selain PT Pertamina, Drymix juga menggugat PT Albany dan PT Patra Badak Arun Solusi. Dua perusahaan juga turut tergugat, yakni Perusahaan Umum Kehutanan Negara dan Tulus Budyadi.
Yudo kemudian menyampaikan kronologi perkara tersebut. Dia mengemukakan, penggugat (Drymix, Red) merupakan pemilik hak sewa lahan di lokasi kawasan hutan produksi pada petak 33 F seluas 0,15 hektare.
Hak sewa tersebut didapat berdasar perjanjian kerja sama penggunaan lahan hutan antara Drymix dengan turut tergugat Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
Pada 22 November 2021, kata dia, akses keluar-masuk Drymix di lokasi lahan sewa tersebut ditutup Pertamina dan kontraktornya terkait aktivitas pembangunan megaproyek kilang minyak GRR. Akibat penutupan tersebut, perusahaan mengalami kerugian materiil dan immateriil.
Yudo mengatakan, perjanjian (sewa) penggunaan kawasan hutan tersebut dibuat 14 November 2018 dan berakhir pada 13 November 2020. Setelah berakhir, perjanjian diperpanjang hingga 13 November 2022.
Terkait hal tersebut, kata dia, PT Drymix Indonesia mengalami kerugian materiil uang sewa sebesar Rp 24 juta untuk masa sewa yang belum dijalani selama satu tahun. Juga kerugian potensi manfaat hak sewa selama satu tahun sebesar Rp 15 miliar.
Bukan hanya itu. Yudo mengungkapkan, PT Drymix Indonesia mengalami kerugian immateriil berupa kehilangan relasi dan hubungan kerja. Jika ditaksir, kerugian tersebut nilainya sebesar Rp 7 miliar. Atas kerugian tersebut, kata dia, kliennya menuntut para tergugat untuk membayar kerugian materiil maupun immateriil sebesar Rp 22 miliar.
Gugatan tersebut menambah panjang kasus hukum PT Pertamina terkait pembangunan kilang minyak GRR. Sebelumnya, masyarakat Banyuwangi menggugat PT Pertamina dan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII di Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Dalam gugatan tersebut, pemohon menyatakan sertifikat hak guna usaha (HGU) nomor 304, 305, 307 dan 339 atas nama PTPN XII yang diterbitkan oleh tujuh termohon tidak sah. Salah satu sertifikat HGU yang menjadi lokasi tukar guling Hutan Jatipeteng itu cacat hukum dan bertentangan dengan empat regulasi terkait.
Di antaranya, Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian, Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaannya.
Presiden Direktur PT Rosneft Pengolahan dan Petrokimia
Kadek Ambara Jaya sampai berita ini ditulis tadi malam pukul 20.00 belum bisa dikonfirmasi. Pertanyaan yang dikirim wartawan koran ini melalui WhatsApp (WA) hanya dibaca dan tidak dibalas. (sab)
Pertamina Digugat, Dituntut Ganti Rugi Rp 22 M

TUBAN, Radar Tuban – PT Pertamina kembali dihadapkan pada kasus hukum terkait pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) di Jenu. Setelah tukar guling Hutan Jatipeteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan lahan penggantinya di Glenmor, Banyuwangi dianggap cacat hukum dan digugat masyarakat setempat, kini yang dihadapi PT Drymix. Salah satu industri semen di Kabupaten Tuban tersebut mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Tuban terkait terganggunya operasional perusahaannya oleh proyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia.
Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, Humas Pengadilan Negeri (PN) Tuban Uzan Purwadi mengatakan, gugatan tersebut diterima Pengadilan Negeri (PN) Tuban, Kamis (9/12). Nomor perkaranya 39/Pdt.G/2021/PN Tbn.
Uzan sapaan akrabnya menerangkan, Drymix menggugat Pertamina karena memicu terganggunya operasional perusahaan oleh proyek kilang minyak GRR PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimia. Gangguan dimaksud adalah dibatasinya akses jalan Drymix. ”Rekan industri mereka (Drymix, Red) tak bisa beroperasi,” jelasnya. Hakim asal Sleman, Yogyakarta ini mengatakan, akses jalan yang tertutup kegiatan proyek kilang minyak GRR lokasinya di Desa Wadung, Kecamatan Jenu. Uzan menyampaikan, sidang perdana gugatan tersebut diagendakan digelar pada Kamis (30/12).
Dikonfirmasi terpisah, kuasa hukum Drymix Antonius Yudo Prihartono membenarkan hal tersebut. Dia mengatakan, pembatasan akses jalan Drymix oleh Pertamina merupakan perbuatan melawan hukum.
Dalam gugatannya, dia menuntut tiga pihak. Selain PT Pertamina, Drymix juga menggugat PT Albany dan PT Patra Badak Arun Solusi. Dua perusahaan juga turut tergugat, yakni Perusahaan Umum Kehutanan Negara dan Tulus Budyadi.
Yudo kemudian menyampaikan kronologi perkara tersebut. Dia mengemukakan, penggugat (Drymix, Red) merupakan pemilik hak sewa lahan di lokasi kawasan hutan produksi pada petak 33 F seluas 0,15 hektare.
Hak sewa tersebut didapat berdasar perjanjian kerja sama penggunaan lahan hutan antara Drymix dengan turut tergugat Perusahaan Umum Kehutanan Negara.
Pada 22 November 2021, kata dia, akses keluar-masuk Drymix di lokasi lahan sewa tersebut ditutup Pertamina dan kontraktornya terkait aktivitas pembangunan megaproyek kilang minyak GRR. Akibat penutupan tersebut, perusahaan mengalami kerugian materiil dan immateriil.
Yudo mengatakan, perjanjian (sewa) penggunaan kawasan hutan tersebut dibuat 14 November 2018 dan berakhir pada 13 November 2020. Setelah berakhir, perjanjian diperpanjang hingga 13 November 2022.
Terkait hal tersebut, kata dia, PT Drymix Indonesia mengalami kerugian materiil uang sewa sebesar Rp 24 juta untuk masa sewa yang belum dijalani selama satu tahun. Juga kerugian potensi manfaat hak sewa selama satu tahun sebesar Rp 15 miliar.
Bukan hanya itu. Yudo mengungkapkan, PT Drymix Indonesia mengalami kerugian immateriil berupa kehilangan relasi dan hubungan kerja. Jika ditaksir, kerugian tersebut nilainya sebesar Rp 7 miliar. Atas kerugian tersebut, kata dia, kliennya menuntut para tergugat untuk membayar kerugian materiil maupun immateriil sebesar Rp 22 miliar.
Gugatan tersebut menambah panjang kasus hukum PT Pertamina terkait pembangunan kilang minyak GRR. Sebelumnya, masyarakat Banyuwangi menggugat PT Pertamina dan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII di Pengadilan Negeri Banyuwangi.
Dalam gugatan tersebut, pemohon menyatakan sertifikat hak guna usaha (HGU) nomor 304, 305, 307 dan 339 atas nama PTPN XII yang diterbitkan oleh tujuh termohon tidak sah. Salah satu sertifikat HGU yang menjadi lokasi tukar guling Hutan Jatipeteng itu cacat hukum dan bertentangan dengan empat regulasi terkait.
Di antaranya, Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian, Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaannya.
Presiden Direktur PT Rosneft Pengolahan dan Petrokimia
Kadek Ambara Jaya sampai berita ini ditulis tadi malam pukul 20.00 belum bisa dikonfirmasi. Pertanyaan yang dikirim wartawan koran ini melalui WhatsApp (WA) hanya dibaca dan tidak dibalas. (sab)