27.2 C
Bojonegoro
Sunday, June 4, 2023

Masyarakat Tuban Menghadang, Banyuwangi Menggugat

- Advertisement -

TUBAN, Radar Tuban -Problem tukar guling Hutan Jatipeteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan Hutan Glenmore, Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi untuk pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) kian meruncing. Setelah DPRD Tuban berjuang membatalkan tukar guling tersebut dan aktivis lingkungan setempat menyoroti deforestasi atau perubahan permanen lahan hutan tersebut yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kini giliran masyarakat Banyuwangi yang menggugat.
Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, konsultan hukum pendamping masyarakat Banyuwangi, Haryo Wirasmo mengatakan, gugatan warga sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Kuasa hukumnya Ika Ratna Januarti.
”Sudah masuk. Nomor perkaranya 244/Pdt.G/2021/PN Byw,” ujarnya.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Banyuwangi, gugatan tersebut masuk klasifikasi gugatan warga negara atau citizen law suit. Dalam SIPP PN Banyuwangi, jumlah tergugat tujuh pihak. Dua di antaranya Pertamina dan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII.
Dalam gugatan tersebut, pemohon menyatakan sertifikat hak guna usaha (HGU) nomor 304, 305, 307 dan 339 atas nama PTPN XII yang diterbitkan oleh tujuh termohon tidak sah. Salah satu sertifikat HGU yang menjadi lokasi tukar guling Hutan Jatipeteng itu cacat hukum dan bertentangan dengan empat regulasi terkait.
Di antaranya, Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian, Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaannya.
Dia berasumsi, gugatan ini adalah bentuk perlawanan masyarakat setempat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan Pertamina dan PTPN XII beserta negara. Tuban rugi karena hutannya berkurang, Banyuwangi rugi karena masyarakat berpotensi kehilangan lahan mata pencaharian.
Diberitakan sebelumnya, bidang lahan seluas sekitar 305 hektare eks HGU PTPN XII di Banyuwangi yang diserahkan ke PT Pertamina untuk tukar guling lahan Hutan Jatipeteng, Kecamatan Jenu dinilai cacat hukum.
Haryo menyampaikan, proses pelepasan lahan dari PTPN XII ke PT Pertamina tersebut tidak sesuai aturan karena melalaikan tanggung jawab.
Menurut dia, PTPN XII selaku pelepas tanah sampai saat ini tidak melakukan prosedur hukum yang berlaku setelah HGU-nya berakhir pada 2013.
Sesuai PP Nomor 40 Tahun 1996, PTPN XII wajib menyerahkan lahan beserta seluruh asetnya kepada negara berdasarkan ketentuan pasal 17 dan 18 setelah HGU-nya berakhir. Namun, itu belum dilakukan. Praktis, PTPN XII belum bisa menyerahkan tanah eks HGU tersebut kepada PT Pertamina.
Seharusnya, lahan bekas milik PTPN XII saat ini telantar, bukan lagi aset perusahaan perkebunan tersebut. Terlebih, PT Pertamina menyerahkan tanah tersebut kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya menggunakan berita acara pemakaian sementara. Bernomor BA-001/100000/2020.SO bertanggal 7 Agustus 2020.
Aktivis lingkungan ini mengemukakan, sebelum HGU-nya berakhir, PTPN XII mengelola lahan tersebut dan bekerja sama (pola kemitraan) dengan masyarakat setempat menggunakan sistem tumpangsari. Tanaman pokoknya randu dan tanaman bawah palawija.
Pada 2012 atau setahun sebelum HGU berakhir, tanpa dasar hukum yang jelas pola kemitraan tersebut dihapus oleh PTPN XII dan diganti dengan pola sewa-menyewa. Para petani penggarap kemudian membayar sewa Rp 2,5 juta per tahun per hektare. Untuk kontraknya diperbarui tiap tahun.
Pria yang juga pegiat lingkungan Poros Hijau ini menyampaikan, sebetulnya yang berhak mengelola atau empunya lahan telantar adalah petani penggarap. Sebab, sudah ada kesepakatan di awal antara para petani penggarap yang tergabung dalam kelompok tani Sumber Sari Rukun dengan PTPN XII. Juga, para penggarap senantiasa membayar dan menerima kuitansi atas sewa lahan tersebut.
Dia menerangkan, kesepakatan seperti itu sifatnya mengikat. Bahkan, memenuhi syarat sah sebuah perjanjian yang berakibat hukum sesuai pasal 133 KUHPerdata. Jika penyerahan lahan antara eks HGU PTPN XII kepada Pertamina Rosneft dan Petrokimia ini tidak segera dibatalkan, sesungguhnya ada etika hukum dan keadilan yang hilang.
Sebelumnya, Ketua DPRD Tuban M. Miyadi menyampaikan, wakil rakyat telah berupaya agar hal tersebut tidak terjadi, namun tak berhasil. Dia mengaku tujuh kali datang ke kementerian lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan kementerian terkait lainnya.
Kegagalan tersebut, kata dia, karena
tembok tinggi nan kukuh berupa undang-undang yang membentur. Wakil rakyat ini juga terang-terangan menyebut proyek strategi nasional adalah praktik kekuataan undang-undang pusat. Dalam kasus tersebut, kata Miyadi, otoritas daerah cukup lemah.
Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI) Ali Baharudin mengkritisi hilangnya lahan hutan di Tuban akibat pembangunan megaproyek kilang minyak GRR.
Menurut Ali, akibat berkurangnya luas hutan di Tuban, ekologi mengalami kerusakan dan potensi diterjang bencana pun muncul.
Sementara itu pihak PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimmia (PRPP) masih sangat tertutup kepada awak media. Jajaran manajemen Kilang Grass Root Refinery enggan berkomentar terkait konfirmasi yang ditanyakan Jawa Pos Radar Tuban. Presiden Direktur PRPP Kadek Ambara Jaya maupun Corporate Affaris PRPP Yuli Wahyu Witantra saat dikonfirmasi wartawan koran ini tak memberikan tanggapan apa pun. Keduanya kompak mengatakan semua pemberitaan atau konfirmasi merupakan wewenang korporat pusat. (sab)

TUBAN, Radar Tuban -Problem tukar guling Hutan Jatipeteng di Desa Sumurgeneng, Kecamatan Jenu dengan Hutan Glenmore, Desa Alasbuluh, Kecamatan Wongsorejo, Kabupaten Banyuwangi untuk pembangunan megaproyek kilang minyak Grass Root Refinery (GRR) kian meruncing. Setelah DPRD Tuban berjuang membatalkan tukar guling tersebut dan aktivis lingkungan setempat menyoroti deforestasi atau perubahan permanen lahan hutan tersebut yang mengakibatkan kerusakan ekologi, kini giliran masyarakat Banyuwangi yang menggugat.
Dikonfirmasi Jawa Pos Radar Tuban, konsultan hukum pendamping masyarakat Banyuwangi, Haryo Wirasmo mengatakan, gugatan warga sudah didaftarkan ke Pengadilan Negeri (PN) Banyuwangi. Kuasa hukumnya Ika Ratna Januarti.
”Sudah masuk. Nomor perkaranya 244/Pdt.G/2021/PN Byw,” ujarnya.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Banyuwangi, gugatan tersebut masuk klasifikasi gugatan warga negara atau citizen law suit. Dalam SIPP PN Banyuwangi, jumlah tergugat tujuh pihak. Dua di antaranya Pertamina dan Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) XII.
Dalam gugatan tersebut, pemohon menyatakan sertifikat hak guna usaha (HGU) nomor 304, 305, 307 dan 339 atas nama PTPN XII yang diterbitkan oleh tujuh termohon tidak sah. Salah satu sertifikat HGU yang menjadi lokasi tukar guling Hutan Jatipeteng itu cacat hukum dan bertentangan dengan empat regulasi terkait.
Di antaranya, Undang-undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997, PP Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian, Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaannya.
Dia berasumsi, gugatan ini adalah bentuk perlawanan masyarakat setempat atas ketidakadilan yang dilakukan oleh perusahaan Pertamina dan PTPN XII beserta negara. Tuban rugi karena hutannya berkurang, Banyuwangi rugi karena masyarakat berpotensi kehilangan lahan mata pencaharian.
Diberitakan sebelumnya, bidang lahan seluas sekitar 305 hektare eks HGU PTPN XII di Banyuwangi yang diserahkan ke PT Pertamina untuk tukar guling lahan Hutan Jatipeteng, Kecamatan Jenu dinilai cacat hukum.
Haryo menyampaikan, proses pelepasan lahan dari PTPN XII ke PT Pertamina tersebut tidak sesuai aturan karena melalaikan tanggung jawab.
Menurut dia, PTPN XII selaku pelepas tanah sampai saat ini tidak melakukan prosedur hukum yang berlaku setelah HGU-nya berakhir pada 2013.
Sesuai PP Nomor 40 Tahun 1996, PTPN XII wajib menyerahkan lahan beserta seluruh asetnya kepada negara berdasarkan ketentuan pasal 17 dan 18 setelah HGU-nya berakhir. Namun, itu belum dilakukan. Praktis, PTPN XII belum bisa menyerahkan tanah eks HGU tersebut kepada PT Pertamina.
Seharusnya, lahan bekas milik PTPN XII saat ini telantar, bukan lagi aset perusahaan perkebunan tersebut. Terlebih, PT Pertamina menyerahkan tanah tersebut kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya menggunakan berita acara pemakaian sementara. Bernomor BA-001/100000/2020.SO bertanggal 7 Agustus 2020.
Aktivis lingkungan ini mengemukakan, sebelum HGU-nya berakhir, PTPN XII mengelola lahan tersebut dan bekerja sama (pola kemitraan) dengan masyarakat setempat menggunakan sistem tumpangsari. Tanaman pokoknya randu dan tanaman bawah palawija.
Pada 2012 atau setahun sebelum HGU berakhir, tanpa dasar hukum yang jelas pola kemitraan tersebut dihapus oleh PTPN XII dan diganti dengan pola sewa-menyewa. Para petani penggarap kemudian membayar sewa Rp 2,5 juta per tahun per hektare. Untuk kontraknya diperbarui tiap tahun.
Pria yang juga pegiat lingkungan Poros Hijau ini menyampaikan, sebetulnya yang berhak mengelola atau empunya lahan telantar adalah petani penggarap. Sebab, sudah ada kesepakatan di awal antara para petani penggarap yang tergabung dalam kelompok tani Sumber Sari Rukun dengan PTPN XII. Juga, para penggarap senantiasa membayar dan menerima kuitansi atas sewa lahan tersebut.
Dia menerangkan, kesepakatan seperti itu sifatnya mengikat. Bahkan, memenuhi syarat sah sebuah perjanjian yang berakibat hukum sesuai pasal 133 KUHPerdata. Jika penyerahan lahan antara eks HGU PTPN XII kepada Pertamina Rosneft dan Petrokimia ini tidak segera dibatalkan, sesungguhnya ada etika hukum dan keadilan yang hilang.
Sebelumnya, Ketua DPRD Tuban M. Miyadi menyampaikan, wakil rakyat telah berupaya agar hal tersebut tidak terjadi, namun tak berhasil. Dia mengaku tujuh kali datang ke kementerian lingkungan hidup, pekerjaan umum, dan kementerian terkait lainnya.
Kegagalan tersebut, kata dia, karena
tembok tinggi nan kukuh berupa undang-undang yang membentur. Wakil rakyat ini juga terang-terangan menyebut proyek strategi nasional adalah praktik kekuataan undang-undang pusat. Dalam kasus tersebut, kata Miyadi, otoritas daerah cukup lemah.
Pembina Yayasan Pecinta Alam Acarina Indonesia (YPAAI) Ali Baharudin mengkritisi hilangnya lahan hutan di Tuban akibat pembangunan megaproyek kilang minyak GRR.
Menurut Ali, akibat berkurangnya luas hutan di Tuban, ekologi mengalami kerusakan dan potensi diterjang bencana pun muncul.
Sementara itu pihak PT Pertamina Rosneft Pengolahan dan Petrokimmia (PRPP) masih sangat tertutup kepada awak media. Jajaran manajemen Kilang Grass Root Refinery enggan berkomentar terkait konfirmasi yang ditanyakan Jawa Pos Radar Tuban. Presiden Direktur PRPP Kadek Ambara Jaya maupun Corporate Affaris PRPP Yuli Wahyu Witantra saat dikonfirmasi wartawan koran ini tak memberikan tanggapan apa pun. Keduanya kompak mengatakan semua pemberitaan atau konfirmasi merupakan wewenang korporat pusat. (sab)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru


/