BOJONEGORO, Radar Bojonegoro – Suasana teduh nan rindang di sebuah kebun kopi Desa Tlogohaji, Kecamatan Sumberrejo. Pemandangan jarang ditemui di Bojonegoro. Mengingat pohon kopi tidak pernah berhasil tumbuh di kabupaten yang berbatasan dengan Tuban dan Lamongan itu.
Jawa Pos Radar Bojonegoro sudah pernah mengulas tentang kebun kopi yang digarap Lilik Budi Witoyo pada Januari 2021 lalu. Tahun lalu pohon-pohon kopi di kebunnya baru tumbuh, belum berbuah. Akhirnya memasuki 2022 sudah mulai berbuah dan awal Juni lalu sudah ada yang bisa dipanen.
Budi Witoyo memang sejak awal persisnya 2018 ingin riset pribadi dengan menanam kopi di tanah Bojonegoro. Saat itu, ia mulai mengolah tanah agar menjadi lebih subur. Karena Bojonegoro bukan termasuk dataran tinggi, hanya sekitar 41 meter di atas permukaan laut (Mdpl). Juga jenis tanah Bojonegoro yakni vertisol.
Budi menjelaskan, salah satu ciri-ciri tanah vertisol ialah tekstur lempung, mengandung kapur, dan konsistensi luar biasa plastis. Tanah vertisol juga relatif sulit diolah karena memiliki konsistensi sangat kuat. Juga memiliki kandungan lempung tinggi, bahkan lebih dari 30 persen. Selain itu, kandungan liat pada tanah vertisol dapat lebih dari 60 persen.
“Tanah ini sangat keras waktu kering (musim kemarau) dan sangat plastik dan lengket ketika basah. Pengolahan dapat dilaksanakan di dalam musim kemarau baik secara manual maupun dengan menggunakan alat berat/traktor,” tuturnya.
Karena itu, pemupukan tanah dilakukan secara rutin dan memaksimalkan bahan-bahan organik tersedia di desa. Di antaranya kotoran kambing, sapi, kulit padi, dan gedebok pisang. “Juga daun-daun tanaman penaung yang membusuk. difermentasi menggunakan bahan nabati. Saya dibantu oleh Mas Jeck asal Tuban untuk mengolah tanah,” katanya.
Setelah tanah sudah siap, Budi menyiapkan empat varietas bibit kopi terdiri atas arabica, liberica, robusta, dan excelsa. Bibit kopi berasal dari Jumali salah satu petani kopi di Gunung Ringgit, Pasuruan. Jarak tanamnya 2,5×2,5 meter. Totalnya 150 pohon kopi di atas lahan seluas 520 meter persegi.
Lalu, guna mengoptimalisasi pertumbuhan pohon kopi, perlu adanya pohon penaung. Budi menanam pohon penaung di antaranya pepaya, cempedak, coklat, sengon, durian, kelor, jeruk, kelengkeng, alpukat, dan mangga. “Pohon penaung ini juga berfungsi melindungi pohon kopi agar tidak terpapar sinas matahari secara langsung,” kata pria kelahiran 1984 itu.
Saat ini tinggi pohon kopi di kebun sudah 1,5 meter hingga 2 meter. Keempat varietas kopi berbuah semuanya. “Saya baru panen seperempat ons, masih banyak yang belum matang. Jadi kemungkinan beberapa minggu lagi sudah banyak yang matang. Nanti kalau sudah terkumpul satu kilogram akan saya proses, biar kopinya bisa kita nikmati bareng-bareng di kebun,” bebernya.
Padahal secara teori kopi robusta lebih cocok ditaman di tanah 100-600 Mdpl, kopi arabika di tanah 1.000-2.000 Mdpl, kopi liberika di tanah 0-900 Mdpl, sedangkan kopi excelsa di tanah 0-600 Mdpl. “Jadi sebenarnya yang mungkin bisa tumbuh dan berbuah itu kopi liberica dan excelsa, tapi alhamdulillah kopi robusta dan arabica juga tumbuh dan berbuah,” ungkanya.
Budi merasa riset kecil-kecilan ia buat ini ke depannya bisa dijadikan pemahaman kepada masyarakat bahwa kemajuan teknologi pertanian sudah pesat. Jadi, ada banyak cara mengolah tanah sebelumnya minim unsur hara menjadi melimpah unsur haranya.
Selanjutnya, Budi tertarik untuk budidaya pohon teh di kebunnya. Tujuan risetnya pun sama, guna menepis anggapan bahwa pohon teh hanya bisa ditanam di dataran tinggi saja. (bgs/rij)