POLEMIK pemindahan pedagang Pasar Tradisional Bojonegoro Kota ke Pasar Wisata bukan perkara sepele. Nasib ribuan pedagang dipertaruhkan. Anggota Komisi B DPRD Bojonegoro Lasuri mengatakan, harus ada win-win solution.
“Hak para pedagang menyampaikan keluhannya dan mempertahankan posisinya. Jadi harus didengarkan secara seksama dan dicarikan solusi terbaiknya bersama-sama,” katanya kemarin.
Lasuri mengaku tidak setuju adanya pemindahan pedagang pasar. Karena para pedagang merasa sudah puluhan tahun berdagang di pasar tradisional itu.
Adapun dilihat dari sisi sejarah pembangunan pasar itu saat APBD Pemkab Bojonegoro tidak sebanyak seperti sekarang. “Sehingga dulu menggandeng pihak ketiga. Otomatis para pedagang sewa atau beli kios pasar lewat pihak ketiga. Namun, sekarang seluruh kios itu telah terjual semua atau belum, kami belum tahu,” imbuhnya.
Tetapi, Lasuri juga menghormati alasan Pemkab Bojonegoro merelokasi pasar, karena sudah disahkan melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 5 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bojonegoro 2021-2041. Yakni, kawasan Pasar Tradisional Bojonegoro akan dialihfungsikan menjadi ruang terbuka hijau (RTH).
“Hal ini menjadi masalah karena penetapan RTH di lahan yang ada bangunannya Pasar Tradisional Bojonegoro. Kalau itu lahan kosong kan beda cerita. Selain itu, saya juga tidak masuk ke dalam panitia khusus (pansus) perda RTRW,” bebernya.
Perlu diketahui, relokasi pasar lumayan rentan konflik. Berkaca dari Kabupaten Lamongan pada 2012 meresmikan Pasar Babat yang direvitalisasi, awalnya bergaya tradisional berubah menjadi modern. Sebelumnya, Lamongan juga meresmikan Pasar Agrobis Babat pada 2009.
Saat itu, penetapan lokasi pasar di Kecamatan Babat dibagi dua. Pasar Babat diperuntukkan bagi pedagang kering seperti pakaian, perhiasan, kelontong, mebel, dan alat rumah tangga. Sedangkan Pasar Agrobis Babat diperuntukkan pedagang basah seperti sayur-mayur, buah-buahan, daging, ikan, dan palawija.
Tak sedikit pedagang melakukan resistensi. Bahkan ribuan pedagang lama Pasar Babat ajukan gugatan ke PTUN Surabaya pada 2012. Salah satu gugatannya harga kios mahal. Kemudian seiring berjalannya waktu di kalangan pedagang mulai timbul pro dan kontra. Kondisinya beberapa pedagang justru memilih berdagang di luar area Pasar Babat maupun Pasar Agrobis Babat.