Karena khawatir kecanduan bermain smartphone, Syauqi Ridho Al Hafidz didorong oleh ayahnya untuk menekuni hobi membaca dan menulis. Akhirnya setelah dua tahun pandemi Covid-19, Hafidz mampu terbitkan buku kumpulan cerpen.
BHAGAS DANI PURWOKO, Radar Bojonegoro
AURA ceria dan sedikit malu-malu terpancar dari wajah Syauqi Ridho Al Hafidz. Bocah kelahiran September 2009 itu mampu menerbitkan buku kumpulan cerita pendek (cerpen) pada Februari lalu. Jawa Pos Radar Bojonegoro bertemu dengan bocah yang akrab disapa Hafidz itu saat dia bersama ayah, ibu, dan adiknya bertandang di Kecamatan Bojonegoro Kota kemarin sore (16/6).
Sebab, tempat tinggal Hafidz di Desa/Kecamatan Padangan. Saat itu, Hafidz menunjukkan buku kumpulan cerpen yang berjudul Liburanku di Balik Isolasi Corona. Saat mengobrol dengannya sambil didampingi sang ayah, Wiwit Prasetiyohadi.
Karena masih malu-malu, Hafidz tak begitu banyak bicara. Namun, tetap penuh bangga dan percaya diri atas hasil kerja kerasnya selama dua tahun pandemi Covid-19 menuntaskan bukunya. Ia mengaku saat awal pandemi Covid-19 didorong ayahnya membaca berbagai buku. “Iya awalnya disuruh ayah baca buku. Beli bukunya pas diajak ayah ke kota,” ujar Hafidz.
Setelah beragam buku ia baca, ayahnya mendorong Hafidz menuliskan cerita seputar kegiatannya selama pandemi Covid-19. Juga sempat ikut lomba puisi diadakan Taman Baca Masyarakat (TBM) Kinanthi di Desa Blongsong, Kecamatan Baureno. Hafidz pun mampu menyabet juara harapan satu.
Proses menulis kumpulan cerpen memang diakui Hafidz lumayan lama. “Lama, saya menulis itu sejak kelas 4 SD sampai kelas 6 SD,” ujar alumni siswa SDIT Nurul Huda turut Kecamatan Padangan.
Selama proses menulis, Hafidz kerap bersinggungan dengan ragam cerita-cerita horor-misteri. Sehingga, Hafidz tertarik dan menulis dua cerpen berbau cerita horor-misteri.
Ayahnya, Wiwit mengatakan kalau Hafidz menulis sebanyak sembilan cerpen di bukunya berjudul Liburanku di Balik Isolasi Corona itu. Buku setebal 65 halaman itu khas tulisan anak-anak. Hafidz bercerita ragam kegiatannya secara lugas saat pandemi Covid-19 melanda. Wiwit berusaha semaksimal mungkin mendampingi Hafidz saat proses menulis.
Karena Wiwit benar-benar khawatir apabila anaknya hanya main smartphone, tanpa menghasilkan karya apapun. “Saya selaku ayah tentu khawatir kalau nantinya Hafidz kecanduan main smartphone,” kata pria kelahiran 1981 itu.
Ketika proses menulis, Wiwit tidak serta merta melarang total Hafidz main smartphone. “Awalnya saya minta baca buku dulu sampai selesai. Kalau sudah selesai baca baru boleh main smartphone,” bebernya.
Ayah dan anak ini tampak berkolaborasi. Wiwit sekaligus menjadi editor bukunya Hafidz. Wiwit aktif menulis puisi, cerpen, maupun pentigraf. “Namun belum pernah menerbitkan karya tunggal, saya masih terbitkan karya secara kolektif berupa antologi puisi, cerpen, atau pentigraf,” ujar guru Bahasa Indonesia MTsN 4 Bojonegoro itu.
Menurutnya, keputusan untuk mendorong Hafidz menerbitkan buku kumpulan cerpen tentu demi kebaikan. Setidaknya Hafidz punya kenang-kenangan berupa karya ketika pandemi Covid-19. (*/rij)