Kaligrafi kayu jati memiliki karya mengagumkan. Dipasang di musala hingga masjid. Ada juga relief perjamuan suci yang memesona. Itulah karya orang-orang pengukir kayu jati Bojonegoro.
BHAGAS DANI PURWOKO, Radar Bojonegoro
PULUHAN pekerja sibuk menghaluskan kayu jati dan mengukir kayu. Suara mesin disel pun menderu. Kerajinan kayu jati di Bojonegoro tak hanya berupa furnitur rumah tangga. Tapi juga seni ukir maupun patung. Salah satunya perajin kayu jati di Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro Kota milik Sutrisno.
Kerajinan kayu jati di workshop-nya itu didominasi ukiran kaligrafi dan relief perjamuan suci. Peminat kerajinan ukiran tak sedikit dan rela membayar mahal. Karena itu, Sutrisno memfokuskan bikin ragam ukiran berupa relief maupun patung sejak 2002 silam.
Pria kelahiran 1972 itu juga membuat patung Yesus dan Bunda Maria. Jiwa seni dalam dirinya memang sudah ada sejak muda. Namun, semasa muda ia merantau ke Bekasi menjadi seorang operator alat berat. Akibat krisis moneter, Sutrisno pilih pulang ke Bojonegoro.
Akhirnya bekerja sekaligus belajar sebagai tukang ukir yang mana kebetulan pemiliknya seorang Nasrani. Sehingga ia kerap membuat relief perjamuan, ukiran Yesus disalib, atau patung Yesus bersama Bunda Maria.
“Kemudian ketika sudah merasa mampu, akhirnya pada 2002 itu buka usaha sendiri. Ternyata memang pangsa pasar relief perjamuan suci, patung Yesus, dan Bunda Maria cukup banyak peminatnya,” ujar bapak dua anak itu.
Pemesan datang dari kawasan Jawa Timur hingga luar Jawa. Pesanan dari pejabat pun tak pelak terus berdatangan. Harga kerajinan buatannya tidak bisa dipatok, tergantung ukuran serta kerumitan. Harganya jutaan hingga puluhan juta. Lambat laun nama Sutrisno makin dikenal, akhirnya ada juga pemesan ingin dibuatkan kaligrafi asmaul husna atau surah Alquran.
“Karena ada pesanan kaligrafi, akhirnya saya cari pengukir yang punya keahlian buat kaligrafi huruf hijaiyah,” tuturnya.
Menurut Sutrisno, diferensiasi yang ia miliki memang menerima pesanan relief perjamuan suci. “Kemungkinan di Bojonegoro tidak ada lagi tukang ukir yang mau terima pesanan perjamuan suci. Kalau saya menganggapnya relief itu merupakan seni. Tapi yang mungkin agak saya kurangi membuat salib Yesus, karena sifatnya terlalu sakral dan saya muslim,” bebernya.
Akhir-akhir ini juga datang pesanan relief suasana perdesaan. Syukurnya selama pandemi Covid-19 tidak terlalu berpengaruh pada usahanya. Bahkan, dia menambah jumlah pekerja. “Sebelumnya 18 orang, pas pandemi tambah menjadi 23 pekerja,” pungkasnya. (bgs/rij)
