RAMADAN tiba. Seni religi pun semarak. Terutama rebana sebagai alat musik hadrah. Ternyata, Bojonegoro menjadi jujugan pembuatan rebana. Perajin memproduksi rebana dengan ragam kayu khas Bojonegoro.
BHAGAS DANI PURWOKO, Radar Bojonegoro
SUARA mesin diesel terdengar dari teras rumah perajin rebana. Muh Rasmadi pemilik rumah pun mengajak tim Jawa Pos Radar Bojonegoro masuk ke belakang rumahnya. Ternyata di balik bangunan rumah sederhana itu menyimpan aktivitas pembuatan rebana. Terutama melihat proses kayu yang dibubut.
Rasmadi menjalankan roda kerajinan kayu jati ini bersama anak-anaknya. “Anak pertama dan anak kedua sudah lihai melanjutkan usaha kerajinan kayu. Kalau anak ketiga masih kuliah di Malang,” ujar pria asal Desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro Kota itu.
Rasmadi merintis usahanya sejak 1992 silam. Awalnya, kerajinan kayu ia buat bukan rebana. Berawal dari aneka kerajinan furnitur rumah tangga yang bahan bakunya kayu jati. Seiring waktu berjalan, Rasmadi mendapat pesanan tabung kayu untuk alat musik rebana. Ternyata kayu jati kurang cocok jadi bahan untuk rebana.
“Pemesan rebana menyarankan pakai kayu mahoni atau kalau mau lebih bagus lagi pakai kayu nangka. Sayangnya sulit dapatkan kayu nangka,” ujar pria kelahiran 1961 itu.
Selanjutnya, Rasmadi tidak ingin hanya membuat bahan tabung kayu rebana, tapi juga mampu bikin rebana. Pesanan semakin deras mulai 2015. Ketika salawatan Habib Syech Bin Abdul Qadir Assegaf ngetren.
“Ditambah juga anak ketiga saya itu mahir main rebana, karena ikut ekstrakurikuler hadrah di sekolahnya waktu itu,” imbuhnya.
Pesanan pun datang dari Bojonegoro, Lamongan, Tuban, dan Gresik. Menurutnya, perajin rebana tidak terlalu banyak, jadi persaingan tidak terlalu ketat. Ada dua kategori set rebana yakni, rebana set Habib Syech dan rebana set banjari.
“Kalau rebananya Habib Syech itu satu set ada sembilan unit, harganya Rp 3 juta. Sedangkan satu set rebana banjari ada lima unit, harganya Rp 1,460 juta. Pengerjaan sekitar seminggu,” terangnya.
Bahkan, dia melayani servis rebana. Karena di Bojonegoro bahan-bahan membuat rebana itu tidak ada. Misalnya, seperti kulit, kencer, dan paku pines harus beli di Surabaya, Jombang atau Jepara. “Kulit untuk rebana itu tidak bisa sembarangan, harus kulit kambing betina bagian punggung,” bebernya. Syukurnya sekarang sudah bisa beli bahan-bahan itu secara daring.
Uniknya, Rasmadi belum tertarik pemasaran secara daring. Bahkan, tidak ada tulisan penanda di teras rumahnya selaku perajin rebana. Rasmadi masih nyaman dengan cara konvensional, berupa getok tular. Meskipun omzetnya anjlok lebih dari 50 persen akibat pandemi Covid-19 sejak 2020 lalu.
“Akhir-akhir ini kami baru merangkak kembali. Biasanya sebelum pandemi pesanan deras ketika bakdamulud hingga pasa (puasa Ramadan),” ungkapnya.
Sementara itu, karena Rasmadi sudah dikenal mampu bikin rebana, tak sedikit datang juga pesanan untuk membuatkan alat musik jenis perkusi lainnya. Seperti ketipung atau kendang. (*/rij)