23.7 C
Bojonegoro
Saturday, June 3, 2023

Rodli TL, Dosen Bahasa Inggris yang Mencintai Dunia Teater

Lebih Senang Ajak Anak yang Sering Bicara Sendiri

- Advertisement -

Rodli TL sudah menghasilkan banyak karya pementasan panggung. Ketelatenannya berbuah sejumlah penghargaan.

AHMAD ASIP ALAFI,RadarLamongan

 

 

MALAM itu, selepas isya, Rodli masih bersarung dan berbusana muslim. Dari ruang tamu rumahnya di Desa Canditunggal, Kecamatan Kalitengah, pria bernama panggung Rodli TL itu mengajak wartawan koran ini ke teras.

- Advertisement -

 

‘’TL itu apa, jangan ditanya,’’ pintanya terkait namanya di dunia teater.

 

Suara Rodli berkarakter. Dia sudah malang melintang di dunia teater Lamongan. Rodli menyukai dunia sastra dan teater sejak menjadi  mahasiswa di Universtas Jember, 2001. Awalnya, dia diajak temannya bergabung di Komunitas Teater Tiang.

 

Di komunitas tersebut, Rodli terlibat proses pementasan teater dengan judul Tolong Adaptasi dari karya cerpen Putu Wijaya.

 

“Saya menemukan rasa nyaman. Semakin saya tertarik. Lalu, membantu teman – teman teater untuk menyiapkan pementasan berikutnya,” tutur pria yang kini juga seorang dosen itu.

 

Berada di Komunitas Tiang menjadikan Rodli semakin suka membaca dan menonton teater. Dia mencoba membuat naskah drama dan menjadi sutradara pementasan di teater tersebut.

 

“Waktu itu naskah drama yang pertama saya hasilkan dari cerpen Putu Wijaya juga, yaitu judulnya Mulut.  Jadi (cerpen) saya adaptasi menjadi naskah drama,” tutur pembina Teater Roda Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan tersebut.

 

Mimpi mengembangkan diri di dunia teater terus dibangunnya. Rodli membayangkan memiliki sanggar sendiri dengan fasilitas ruang pertunjukan.

 

Karena itu, setelah lulus kuliah, dia ingin menetap di Jember. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Ijazah lulusan S1 Bahasa Inggris yang dijadikan lampiran untuk melamar pekerjaan di sejumlah sekolah, tidak dilirik. Tak ada panggilan kerja baginya.

 

“Akhirnya mencoba ke Malang membuat sanggar kecil-kecilan dengan nama Ruang Teater Labbaika Indonesia. Tapi tidak bisa berkembang. Dalam satu tahun, hanya punya murid 4 saja,” kenang bapak tiga anak ini.

 

Ruang teater itu akhirnya ditutup. Rodli memutuskan pulang kampung. Di rumahnya, dia memanggil anak kampung yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Mereka diajak latihan teater.

 

Merasa semangat anak-anak cukup tinggi, Rodli kemudian membuat panggung terbuka dan me-launcing Sanggar Sang Bala. Dia masih ingat siapa saja yang diundang dalam acara tersebut. Mulai tokoh masyarakat, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Kalitengah, dan sastrawan Lamongan.

 

‘’Setelah pementasan itu, banyak orang tua dan guru-guru bergabung dengan kami untuk menitipkan anak didiknya, untuk membuat pementasan,” tuturnya.

 

Pada 2008, Rodli melihat ada SD yang hendak roboh dan sebagian bangunannya berlubang. Muncul idenya untuk menggelar pementasan dengan latar belakang SD tersebut.

 

Bersamaan itu, ada lomba festival seni internasional yang diadakan Pusat Pembinaan Pengembangan Pendidik Tenaga Kependidikan Seni Budaya (PPPPTK-SB) Jogjakarta. Karya yang direkam menggunakan handycam  itu dikirimkan untuk diikutkan lomba.

 

“Saya dapat telepon, karya saya terpilih jadi karya terbaik di festival internasional. Kami diundang bersama anak-anak di pentas seni budaya di forum festival seni internasional itu,” kenangnya lagi.

 

Dari ajang tersebut, Rodli menerima biaya produksi sekitar Rp 15 juta dan uang penghargaan Rp 10 juta.

 

Event yang sama digelar lagi dua tahun kemudian. Rodli mengirimkan karya pementasan anak-anak sanggar Sang Bala. Juga mengirimkan karya pementasan siswa SMPN 1 Kembangbahu berjudul  Dewi Sri.

 

“Dua-duanya dapat penghargaan terbaik. Anak SMPN kategori remaja, dan yang dari sini (sanggar) kategori anak-anak,” jelasnya.

 

Rodli punya cara untuk memilih anak dalam pementasan. Dia lebih senang mengajak anak yang dilihatnya sering bicara dan bermain sendiri. Baginya, anak tersebut memiliki daya khayal cukup tinggi.

 

Cara bermain anak juga bisa dipindahkan ke atas panggung. “Saya masuk ke dunia anak-anak, bukan anak-anak masuk ke dunia kita. Kalau tidak begitu, nanti tidak telaten,” tuturnya.

 

“Kadang-kadang anak dewasa memainkan anak-anak kan malu. Rasa malu itu kemudian saya buang. Kita mengikuti kemauan anak-anak, sehingga anak-anak lebih disiplin dan berpotensi,” lanjutnya.

 

Anak-anak juga dinilai lebih disiplin daripada dewasa. Dia pernah mengajak anak – anak latihan setelah subuh. Mereka juga datang.

 

“Sering garap pementasan Disparbud Lamongan untuk acara Taman Mini Indonesia Indah. Insya Allah juga setelah lebaran tanggal 12 Juni acaranya,” jelasnya.

 

Tahun ini, Rodli juga masih mengukir prestasi. Dia diminta bantuan  ibu-ibu dharma wanita untuk menyutradarai pementasan teater modern tentang modifikasi kentrung kesenian tradisi Lamongan.  ‘’Ada dalangnya, ada panjaknya, dan ada aktornya,’’ ujarnya.

 

“Alhamdulillah di festival seni budaya kearifan lokal itu, juara dua Se-Provinsi Jawa Timur,” imbuhnya.

 

Rodli menuturkan, potensi diri harus dirawat dan dikembangkan. “Saya di dunia teater dan sastra itu getol, dari mahasiswa sampai sekarang. Jadi hidup saya itu di situ,” tutur lelaki 45 tahun tersebut. (*/yan)

Rodli TL sudah menghasilkan banyak karya pementasan panggung. Ketelatenannya berbuah sejumlah penghargaan.

AHMAD ASIP ALAFI,RadarLamongan

 

 

MALAM itu, selepas isya, Rodli masih bersarung dan berbusana muslim. Dari ruang tamu rumahnya di Desa Canditunggal, Kecamatan Kalitengah, pria bernama panggung Rodli TL itu mengajak wartawan koran ini ke teras.

- Advertisement -

 

‘’TL itu apa, jangan ditanya,’’ pintanya terkait namanya di dunia teater.

 

Suara Rodli berkarakter. Dia sudah malang melintang di dunia teater Lamongan. Rodli menyukai dunia sastra dan teater sejak menjadi  mahasiswa di Universtas Jember, 2001. Awalnya, dia diajak temannya bergabung di Komunitas Teater Tiang.

 

Di komunitas tersebut, Rodli terlibat proses pementasan teater dengan judul Tolong Adaptasi dari karya cerpen Putu Wijaya.

 

“Saya menemukan rasa nyaman. Semakin saya tertarik. Lalu, membantu teman – teman teater untuk menyiapkan pementasan berikutnya,” tutur pria yang kini juga seorang dosen itu.

 

Berada di Komunitas Tiang menjadikan Rodli semakin suka membaca dan menonton teater. Dia mencoba membuat naskah drama dan menjadi sutradara pementasan di teater tersebut.

 

“Waktu itu naskah drama yang pertama saya hasilkan dari cerpen Putu Wijaya juga, yaitu judulnya Mulut.  Jadi (cerpen) saya adaptasi menjadi naskah drama,” tutur pembina Teater Roda Universitas Darul Ulum (Unisda) Lamongan tersebut.

 

Mimpi mengembangkan diri di dunia teater terus dibangunnya. Rodli membayangkan memiliki sanggar sendiri dengan fasilitas ruang pertunjukan.

 

Karena itu, setelah lulus kuliah, dia ingin menetap di Jember. Namun, harapan tak sesuai kenyataan. Ijazah lulusan S1 Bahasa Inggris yang dijadikan lampiran untuk melamar pekerjaan di sejumlah sekolah, tidak dilirik. Tak ada panggilan kerja baginya.

 

“Akhirnya mencoba ke Malang membuat sanggar kecil-kecilan dengan nama Ruang Teater Labbaika Indonesia. Tapi tidak bisa berkembang. Dalam satu tahun, hanya punya murid 4 saja,” kenang bapak tiga anak ini.

 

Ruang teater itu akhirnya ditutup. Rodli memutuskan pulang kampung. Di rumahnya, dia memanggil anak kampung yang masih duduk di bangku sekolah dasar (SD). Mereka diajak latihan teater.

 

Merasa semangat anak-anak cukup tinggi, Rodli kemudian membuat panggung terbuka dan me-launcing Sanggar Sang Bala. Dia masih ingat siapa saja yang diundang dalam acara tersebut. Mulai tokoh masyarakat, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Pendidikan Kecamatan Kalitengah, dan sastrawan Lamongan.

 

‘’Setelah pementasan itu, banyak orang tua dan guru-guru bergabung dengan kami untuk menitipkan anak didiknya, untuk membuat pementasan,” tuturnya.

 

Pada 2008, Rodli melihat ada SD yang hendak roboh dan sebagian bangunannya berlubang. Muncul idenya untuk menggelar pementasan dengan latar belakang SD tersebut.

 

Bersamaan itu, ada lomba festival seni internasional yang diadakan Pusat Pembinaan Pengembangan Pendidik Tenaga Kependidikan Seni Budaya (PPPPTK-SB) Jogjakarta. Karya yang direkam menggunakan handycam  itu dikirimkan untuk diikutkan lomba.

 

“Saya dapat telepon, karya saya terpilih jadi karya terbaik di festival internasional. Kami diundang bersama anak-anak di pentas seni budaya di forum festival seni internasional itu,” kenangnya lagi.

 

Dari ajang tersebut, Rodli menerima biaya produksi sekitar Rp 15 juta dan uang penghargaan Rp 10 juta.

 

Event yang sama digelar lagi dua tahun kemudian. Rodli mengirimkan karya pementasan anak-anak sanggar Sang Bala. Juga mengirimkan karya pementasan siswa SMPN 1 Kembangbahu berjudul  Dewi Sri.

 

“Dua-duanya dapat penghargaan terbaik. Anak SMPN kategori remaja, dan yang dari sini (sanggar) kategori anak-anak,” jelasnya.

 

Rodli punya cara untuk memilih anak dalam pementasan. Dia lebih senang mengajak anak yang dilihatnya sering bicara dan bermain sendiri. Baginya, anak tersebut memiliki daya khayal cukup tinggi.

 

Cara bermain anak juga bisa dipindahkan ke atas panggung. “Saya masuk ke dunia anak-anak, bukan anak-anak masuk ke dunia kita. Kalau tidak begitu, nanti tidak telaten,” tuturnya.

 

“Kadang-kadang anak dewasa memainkan anak-anak kan malu. Rasa malu itu kemudian saya buang. Kita mengikuti kemauan anak-anak, sehingga anak-anak lebih disiplin dan berpotensi,” lanjutnya.

 

Anak-anak juga dinilai lebih disiplin daripada dewasa. Dia pernah mengajak anak – anak latihan setelah subuh. Mereka juga datang.

 

“Sering garap pementasan Disparbud Lamongan untuk acara Taman Mini Indonesia Indah. Insya Allah juga setelah lebaran tanggal 12 Juni acaranya,” jelasnya.

 

Tahun ini, Rodli juga masih mengukir prestasi. Dia diminta bantuan  ibu-ibu dharma wanita untuk menyutradarai pementasan teater modern tentang modifikasi kentrung kesenian tradisi Lamongan.  ‘’Ada dalangnya, ada panjaknya, dan ada aktornya,’’ ujarnya.

 

“Alhamdulillah di festival seni budaya kearifan lokal itu, juara dua Se-Provinsi Jawa Timur,” imbuhnya.

 

Rodli menuturkan, potensi diri harus dirawat dan dikembangkan. “Saya di dunia teater dan sastra itu getol, dari mahasiswa sampai sekarang. Jadi hidup saya itu di situ,” tutur lelaki 45 tahun tersebut. (*/yan)

Artikel Terkait

Most Read

Artikel Terbaru

Lebih Suka Belajar Bersama

Terus Bersinergi dengan Media


/